26.5 C
Mataram
Kamis, 18 April 2024
BerandaBerita UtamaMasa Sulit Pandemi Covid-19, Banyak Pemuda di Mataram Pilih Mengamen

Masa Sulit Pandemi Covid-19, Banyak Pemuda di Mataram Pilih Mengamen

Sekelompok pemuda tengah mengamen di Taman Sangkareang, Mataram. (Inside Lombok/Azmah)

Mataram (Inside Lombok) –

Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir dua tahun memberi dampak besar pagi perputaran ekonomi di masyarakat. Mulai dari pengurangan jam kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga kesulitan mencari kerja bagi angkatan kerja baru.

Kondisi tersebut salah satunya dialami Arli, Rangga dan Rifki. Tiga pemuda asal Kota Mataram itu memilih mengamen di taman-taman kota semasa pandemi. Pilihan tersebut diambil lantaran sulitnya mencari kerja di masa sulit saat ini.

Rangga misalnya, memutuskan ikut mengamen bersama dua temannya lantaran surat lamaran kerja yang diajukannya ke beberapa perusahaan belum juga mendapat jawaban. Sebelum mengamen, warga Kelurahan Karang Kelok tersebut juga terkena PHK dari tempat kerja sebelumnya.

- Advertisement -

“Ngamen ini sambilan nunggu kerjaan yang lain. Sudah sih kita masukin lamaran kerja, tapi kan belum ada panggilan. Daripada nganggur, lebih baik ngamen,” ucapnya.

Menurutnya, pendapatan yang diperoleh dari mengamen lumayan banyak untuk situasi sulit saat ini. Mencapai Rp150 – 250 ribu per hari. Mengamen ini tambah Arli, sudah digeluti cukup lama yaitu hampir 3 tahun.

“Ya sudah lama kita ngamen ini tapi kan sambilan aja ini. Lumayan kita dapat dalam sehari. Kita keluarnya sore hari. Paling ramai itu malam Minggu. Kita bisa dapat sampai Rp250 ribu,” sebutnya.

Meski disebut cukup besar, lanjut Arli, mengamen yang dilakukan juga memiliki berbagai rintangan. Karena tidak jarang mereka bertiga diusir baik oleh pemilik tempat makan maupun pengunjung.

“Sering kita diusir, tapi mau bagaimana lagi. Ya sudah, dijalani saja,” keluhnya.

Dari hasil mengamen yang dilakukan, mereka bisa membeli gitar dan alat lainnya. Sehingga tidak hanya bermodalkan suara, tetapi juga alat music. Dengan alat-alat yang sudah dimiliki saat ini bisa lebih menghibur masyarakat.

“Ini semua hasil mengamen saja. Kita kumpulkan dan bisa membeli gitar,” tandasnya.

Personil yang lain Rifki menambahkan, saat ini lokasi untuk mengamen masih pindah-pindah dan belum ada lokasi yang tetap. Misalnya, di Taman Sangkareang, pantai, dan biasanya di tempat makan. “Di mana tempatnya ramai pengunjung lah kita datangi,” katanya.

Sementara itu, Tuti salah satu pengunjung di Taman Sangkareang mengatakan, pengamen yang datang pada saat makan dianggap cukup mengganggu. Karena selain kurang suka dengan musik, dirinya juga tidak suka ada yang mengganggu pada saat makan.

“Saya kan tidak terlalu suka musik, jadi agak mengganggu sih,” katanya. Meski demikian, mengamen adalah salah satu cara masyarakat untuk mencari nafkah. Sehingga pengunjung masih tetap menghargai. “Itu caranya cari rejeki, jadi hargai saja,” ujarnya.

Menurutnya, momen paling mengganggu yaitu ketika datang dua hingga tiga pengamen. Padahal makanan yang sudah dipesan belum habis, tetapi pengamen yang datang cukup banyak. “Kalau itu sangat mengganggu. Kita mau mengobrol sama teman-teman jadi terganggu juga,” keluhnya. (azm)

- Advertisement -

Berita Populer