32.5 C
Mataram
Selasa, 19 Maret 2024
BerandaBerita UtamaSikap Apatis Pemprov NTB Terhadap Aset Trawangan Penuhi Unsur Korupsi

Sikap Apatis Pemprov NTB Terhadap Aset Trawangan Penuhi Unsur Korupsi

Mataram (Inside Lombok) – Aktivis sosial dari Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menilai sikap apatis Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat terhadap upaya penyelamatan aset negara bernilai triliunan rupiah di kawasan wisata andalan Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, telah memenuhi unsur korupsi.

“Jadi mengabaikan itu (penyelamatan aset negara bernilai triliunan rupiah) bisa dianggap melakukan perbuatan hukum. Kalau sudah ada unsur melawan hukumnya, berati itu korupsi,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada Antara melalui telepon selulernya, Senin.

Boyamin menyampaikan hal tersebut menanggapi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kontrak kerja antara Pemprov NTB dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI) atas pengelolaan objek tanah dengan golongan tanah pariwisata di kawasan wisata Gili Trawangan.

Dalam sorotannya, KPK mendorong Pemprov NTB untuk segera menertibkan aset tersebut, karena bila dibiarkan, negara telah kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang cukup besar dari sektor pariwisata.

- Advertisement -

Kemudian munculnya harga triliunan rupiah itu berasal dari hasil peninjauan dan penilaian ulang perihal objek pajak tanah yang dikeluarkan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2018.

Nilai aset yang merupakan sebidang lahan seluas 65 hektare dengan masa kontrak selama 70 tahun tersebut ditaksir mencapai Rp2,3 triliun.

Apalagi jika dilihat dari hasil kajian Bidang Datun Kejati NTB perihal objek lahan di bawah kelola PT GTI. Banyak ditemukan persoalan yang merugikan pemerintah. Seluruh hasil kajiannya terindikasi mengarah pada perbuatan melawan hukum.

Adapun hasil kajian yang tercatat Bidang Datun Kejati NTB mendasarkan pada perjanjian kerja sama antara PT GTI dengan Pemprov NTB yang kabarnya sudah berjalan 23 tahun lamanya.

Hal pertama yang menjadi kajian hukumnya dilihat dari luas lahan kelola yang tidak signifikan dengan royalti yang dibayarkan PT GTI per tahunnya, yakni sebesar Rp22.250.000.

Belum lagi dilihat dari tumbuhnya ladang bisnis secara masif. Dari atas lahan tersebut, bisa dipastikan tidak ada kaitannya dengan perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dengan PT GTI yang berperan sebagai pemegang tunggal sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) lahan seluas 65 hektare.

Dari kajiannya, keuntungan bisnis yang tumbuh liar di atas lahan PT GTI tersebut per tahunnya ditaksir mencapai angka Rp24 miliar. Dengan angka sekian, sangat disayangkan jika lahan tersebut tidak dimonopoli oleh pemerintah.

Lebih dalam lagi perihal materi perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dengan PT GTI yang katanya akan habis pada tahun 2065.

Dalam aturan kerja sama yang melahirkan sebuah sertifikat HGB, jaksa memastikan tidak ada masa kontrak yang berlaku selama 70 tahun, melainkan dalam aturannya itu berlaku untuk kali pertama 30 tahun dan bila pertumbuhan usahanya menguntungkan, HGB dapat diperpanjang sampai 20 tahun.

Kemudian dalam perjanjian kontrak kerja samanya, PT GTI tidak menepati janji untuk membayar royalti yang seharusnya setiap 10 tahun ada kenaikan sebesar 10 persen.

Bahkan, warga yang sebelumnya bermukim dalam kawasan PT GTI dengan pegangan hukum berupa surat Hak Pengelolaan Atas Tanah-nya (HPL), digusur secara paksa. Hal yang dilakukan setelah PT GTI mengantongi sertifikat HGB, ada sebanyak 720 KK yang angkat kaki dari dalam lahan tersebut.

Karenanya, berangkat dari hasil kajian ini, kejaksaan menyarankan pemerintah mengambil tindakan tegas dengan memutus kontrak PT GTI dan memberikan kesempatan kepada pihak swasta lainnya untuk mengelola lahan tersebut menjadi lebih produktif.

Dengan latar belakang yang demikian, Boyamin meminta Pemprov NTB untuk segera mengambil keputusan yang tepat. Tentunya keputusan tersebut harus melalui pertimbangan matang dengan melihat besar keuntungan yang seharusnya diperoleh negara dalam pengelolaan lahan di kawasan wisata andalan NTB tersebut.

“Jadi kalau ini namanya jasa menyewakan, di situ negara harus untung, untungnya dimana, ya harga murah, barang bagus, bukan harga buruk, barang jelek, kalau seperti itu bisa jadi ada korupsi,” ujar dia. (Ant)

- Advertisement -

Berita Populer