27.5 C
Mataram
Sabtu, 20 April 2024
BerandaEsaiSurat Terbuka untuk Kamu yang Gelisah karena Ingin Cepat Menikah

Surat Terbuka untuk Kamu yang Gelisah karena Ingin Cepat Menikah

Surat ini tidak akan menjadikan penderitaanmu (umpama kamu menderita; kalau tidak, ya, syukurlah) sebagai bahan untuk bersenang-senang. Surat ini akan membicarakan fenomena “menikah karena terpaksa”. Paksaan yang saya maksud di sini bukan paksaan orangtua, yang sering sekali merasa berhak menjodohkan anak. Paksaan yang saya maksud adalah paksaan budaya.

Hai, kamu, yang sedang gelisah.

Semestinya kamu menikah pada waktunya. Semestinya kamu menikah setelah mengerti betul konsekuensinya, tapi masyarakat bersikeras kamu harus menikah cepat. Mereka bertanya dengan rasa tidak sabar, sekalipun kamu bukan siapa-siapanya mereka. Pertanyaan itu sering bernada sindiran: “kok belum kawin?” Kemudian berkembang menjadi nasehat yang sama sekali tidak kamu perlukan: “makanya, jangan terlalu pemilih.”

Itulah paksaan budaya. Masyarakat hanya ingin dipuaskan dengan melihatmu menikah cepat, sebab itulah yang mereka anggap “normal”. Inilah saran saya: jangan sampai kamu mengikuti paksaan budaya itu! Jangan pernah kamu menikah hanya karena diwas-wasi masyarakat. Menikahlah ketika kamu percaya kamu butuh menikah, atau ketika kamu mengerti seluk beluk dunia pernikahan. Sebab, sungguh, pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah.

- Advertisement -

Menikah bukan perlombaan. Menikah bukan cepat-cepatan. Ingatlah, yang akan kamu nikahi itu bukan tubuh, tapi pikiran. Kamu bisa menikah karena paksaan, bisa pula karena bernafsu pada kemolekan. Namun hidup setelah menikah adalah pergaulan yang akur antara dua pikiran. Ia yang menikahi tubuh. Namun tidak mengenal pikiran di balik tubuh akan terkejut. Gejolak rumah tangga biasanya bersumber dari pikiran yang tidak ikut dinikahi.

Maka catat ini: kesenangan tubuh! Itulah motivasi di balik paksaan budaya. Masyarakat cuma mau itu, dan itu tampak dari guyonan mereka yang mesum. “Masa ‘itu’-nya cuma dipakai kencing?”, begitu bunyi salah satu guyonan. Untuk hal-hal seremeh itulah kamu dipaksa menikah cepat, alih-alih memberimu bekal penting untuk menikah, misalnya manajemen tabungan atau manajemen emosi. Dan mereka … tentu saja, tidak membiayaimu.

Hai, kamu, yang sedang jengkel.

Betapa tidak enaknya kamu harus diam di hadapan omongan pedas masyarakat. Mereka boleh bertanya sepuasnya dan kamu hanya boleh menjawab dengan sopan. Mereka boleh nyinyir semaunya dan kamu tidak boleh menjawab sama pedasnya. Kamu telah berusaha sekuat tenaga untuk tampak baik-baik saja, tapi saya tahu kamu hanya bisa menangis dalam hati, di dalam sanctum sanctorum yang kamu huni sendiri.

Memang begitulah masyarakat. Mereka diajari bahwa yang berhak adalah yang banyak. Bahwa mayoritas harus menang dan dimenangkan. Mayoritas apa maksudnya? Ya, apapun yang umum di masyarakat. Ide apapun yang dipeluk oleh masyarakat, itulah kebenaran. Kalau kamu mencoba memeluk ide lain, kamu akan dicemooh. Kalau kamu berpikir, bahwa hidup tanpa pernikahan adalah hidup yang tetap berharga, kamu pasti akan dikira sinting.

Padahal, mereka tidak mengerti betul apa konteks dan falsafah di balik pandanganmu. Mereka tidak mau bertanya padamu, menjelajahi argumenmu, sehingga dari situ mungkin bisa terbit rasa maklum. Sebab … buat apa mereka repot-repot melakukan itu semua, bila pada akhirnya, yang berbeda tetap dianggap sebagai yang melenceng? Buat apa bertanya bila kepala mereka sudah punya jawabannya: bahwa kamu keliru dan harus diluruskan?

Masyarakat kita memang punya solidaritas yang tinggi. Mereka kompak secara sosial. Mereka suka gotong royong. Namun semua itu ada harganya. Masyarakat yang sangat menjunjung kehendak komunitas akan selalu mengabaikan kehendak individu. Artinya, sebagai individu, kamu tidak punya nilai! Kalau masyarakat menentukan bahwa yang normal adalah yang menikah, kamu yang belum atau tidak kunjung menikah adalah anomali.

Sebagai anomali, kamu harus diingatkan. Kamu harus “disemangati”. Untuk menyemangatimu, mereka merasa tidak ada salahnya menggunakan sindiran, nyinyiran, ledekan dan lain sebagainya. Bagi mereka, semua itu hanya bercanda. Bagi mereka, semua itu adalah niat baik. Bila kamu tersinggung, bila kamu sedih dan terluka, mereka akan menyalahkan hatimu yang rapuh. Itulah tabiat masyarakat kita. Mereka tidak mau belajar, tak pula mau disalahkan!

Hai, kamu, yang sedang gamang.

Apakah dengan meladeni kehendak masyarakat, masalahmu akan selesai? Tidak. Satu tuntutan kamu penuhi, tuntutan lain mengikuti. Hari ini kamu dipaksa cepat menikah. Besok kamu akan dituntut cepat beranak. Berikutnya kamu dituntut punya pekerjaan yang terhormat: diutamakan yang seragamnya cokelat. Setelah tercapai, kamu mungkin akan dibanding-bandingkan. Kita tahu itu menyakitkan, tapi mereka takkan mau mengerti.

Kamu harus belajar menegaskan kuasa atas dirimu sendiri. Pertahankanlah kemerdekaanmu dalam menentukan pilihan hidup, sebab kamulah yang akan menjalaninya. Kamu tidak bernapas dengan hidung masyarakat. Kamu bernapas dengan hidungmu! Maka sungguh kamu tidak berutang apapun pada masyarakat, di mana harga utang itu setara dengan kemerdekaanmu, yang membuatmu harus terus mengalah dan tunduk pada standar mereka.

Selama keinginan untuk menikah adalah hasil dari berpikir jernih, bukan karena kamu merasa lelah dan menyerah pada paksaan budaya, maka menikahlah. Saat nanti kamu tidak ingin dulu punya anak, atau kamu ingin mengasuh anakmu berdasarkan ilmu kebidanan, bukan mitos, maka lakukanlah. Jangan mau ditakut-takuti. Jangan sudi didikte. Berdirilah dengan kepala tegak dan katakan: “Saya, ya, saya.” Kamu harus melawan.

Namun lakukanlah perlawanan itu dengan santun. Bukan karena santun itu menghindarkanmu dari air keruh, tapi karena santun itu baik. Kitab suci selalu mengajarkan manusia untuk berbuat santun dan adil. Saya juga yakin paksaan budaya bukan sepenuhnya salah masyarakat; ia lahir dari rantai panjang sejarah. Masyarakat hanya perlu waktu untuk berproses menjadi komunitas yang menghargai privasi. Sebagaimana kita semua perlu waktu.

Hai, kamu, yang mulai dilimpahi keberanian.

Bila ingin menikah, bersiaplah dahulu. Menikah itu butuh bekal keterampilan, baik emosional, sosial dan finansial. Kamu perlu memikirkan kehidupan pasca akad, pesta, dan hubungan badan. Itulah kehidupan yang jauh lebih nyata dan panjang untuk dihadapi, yang menuntut tanggung-jawab. Jangan terlena atau takut pada paksaan budaya. Jangan mau dieksploitasi oleh narasi romantis kehidupan pernikahan. Pernikahan tidak pernah semanis itu. []

AS Rosyid adalah penulis kelahiran Lombok, 1991 silam. Menyukai filsafat, spiritualisme, dan sejarah; pun, secara konsisten menulis esai bertema agama, budaya, kemanusiaan, dan lingkungan hidup. Sejumlah esainya terhimpun dalam buku “Sihir, Ganja, Miras, Buku, dan Islam” (Mera Books, 2022). Pada awal 2021 ia mendirikan Akademi Gajah—sebuah lembaga penelitian, pengarsipan, dan penyadaran etika bumi dan kearifan lokal.

- Advertisement -

Berita Populer