Mataram (Inside Lombok) – Pemerintah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, kembali menyiapkan puluhan tenda untuk 30 kepala keluarga nelayan Pondok Perasi, Kecamatan Ampenan, yang terdampak eksekusi lahan pada Senin (6/1).
“Hari ini kami akan memasang tenda lagi pada lokasi relokasi di Bintaro, untuk mengakomodasi 30 KK yang sebelumnya tidak mau tinggal di pengungsian bersama dengan warga lainnya,” kata Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Kota Mataram Lalu Martawang di Mataram, Selasa.
Namun, lanjutnya, pada posisi terakhir pascaeksekusi dilakukan warga yang terdampak sekarang pilihannya hanya mengikuti apa yang telah disiapkan oleh pemerintah kota, karena tidak mungkin mereka berada pada kondisi konflik yang terus-terusan melawan eksekusi lahan yang dilakukan oleh aparat.
Oleh karena itu, saat ini tim dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bersama dengan Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Kota Mataram akan melakukan pemasangan tenda.
“Tenda untuk keluarga yang kami miliki saat ini sekitar 30 unit dan siap untuk dipasang di lokasi pengungsian di Bintaro,” katanya.
Pada prinsipnya, untuk penyiapan tenda dan fasilitas lainnya bagi para pengungsi, pemerintah kota sudah siap. Akan tetapi, yang masih menjadi kendala adalah kedatangan 30 KK tersebut ke lokasi relokasi belum mau diterima oleh 51 KK pengungsi sebelumnya.
“Itulah yang akan kita mediasi, agar 51 KK yang sudah berada di pengungsian terlebih dahulu mau menerima 30 KK yang saat ini rumahnya telah dirobohkan,” katanya.
Terhadap 30 KK yang belum diterima kedatangannya itu, juga diberikan pilihan untuk menempati rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Selagalas, Mandalika dan Rusunawa Batu Layar yang berada di Kabupaten Lombok Barat.
“Kepala Disperkim Povinsi NTB, sudah memberikan kami izin bagi nelayan yang rumahnya terdampak eksekusi lahan untuk menempati rusunawa tersebut. Namun, hingga kini belum ada kepastian siapa yang mau tinggal di rusunawa,” katanya.
Sementara Camat Ampenan Muzakkir Walad yang dikonfirmasi terhadap alasan penolakan 30 KK oleh 51 KK untuk tinggal bersama di lokasi relokasi, karena sempat ada gesekan ketika terjadi hujan dan tenda-tenda warga tergenang.
“Warga yang tinggal di pengungsian diejek oleh warga yang masih bertahan di Pondok Perasi. Kata-kata yang dilontarkan warga itulah, membuat warga di pengungsian kesal dan marah,” katanya.
Karenanya, pada pertemuan Minggu (5/1) sehari sebelum eksekusi, warga di pengungsian juga sudah sepakat menolak kedatangan 30 KK tersebut, untuk bergabung di Bintaro.
“Inilah yang akan coba kita mediasi agar warga di pengungsian yang selama ini sudah merasa nyaman agar mau bergabung dengan 30 KK lainnya. Kami berharap, 51 KK bisa menerima 30 KK bergabung dengan lapang dada,” katanya. (Ant)