Mataram (Inside Lombok)- Hasil Pendataan Potensi Desa di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dilakukan pada bulan Mei 2018 lalu mencatat 1.143 wilayah administrasi pemerintahan setingkat desa. Sebanyak 408 diantaranya merupakan desa yang mengembangkan industri kain tenun.
Dari jumlah itu, sebanyak 995 merupakan desa, 145 kelurahan dan 3 UPT, serta tercatat sebanyak 117 kecamatan dan 10 kabupaten/kota di NTB.
Ketua Badan Pusat Satistik, Suntono, mengatakan bahwa pendataan potensi desa (Podes) ini umumnya dilakukan tiap 13 kali dalam 10 tahun. Ia juga memaparkan tujuan dari podes tersebut.
“Tujuan podes untuk mengetahui potensi sosial, ekonomi, sarana dan prasaran wilayah di tingkat desa, dan menyediakan karakteristik inftastruktur yang ada di daerah pinggiran, membentuk Indeks Pembangunan Desa (IPD). Kemudian menghasilkan data klasifikasi atau tipologi desa, memperoleh sumber data pemutakhiran peta wilayah kerja statitstik, dan sebagai info dasar untuk sensus penduduk tahun 2020 mendatang,” jelas Suntono secara gamblang, Senin (10/12/2018).
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat Penghitungan Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang menunjukkan tingkat perkembangan desa dengan kategori tertinggal, berkembang, dan mandiri. Semakin tinggi IPD semakin mandiri desa tersebut.
Berdasarkan data tersebut, di NTB terdapat 9 desa tertinggal sebesar 0,90 persen, 899 desa berkembang sebesar 90,35 persen, dan 87 desa mandiri sebesar 8,74 persen.
“Untuk bisa mengikuti perkembangan IPD tersebut, kita membutuhkan 5 Dimensi di dalam perhitungannya,” lanjutnya.
Nilai rata-rata 5 dimensi IPD tahun 2018 antara lain Dimensi Transportasi 84,89 poin, Dimensi Penyelenggaraan Pemerintahan 78,63 poin, Dimensi Pelayanan Umum 55,02 poin dan Dimensi Kondisi Infrastruktur 51,11 poin. Sedangkan Dimensi Pelayanan Dasar menjadi 67,10 poin.
Dari aspek ekonomi bahwa dalam 4 tahun terakhir NTB sudah memiliki banyak kemajuan. Namun ia menegaskan kembali bahwa podes ini dilakukan sebelum kejadian gempa terjadi sehingga tidak ada data yang menunjukkan seberapa besar dampaknya pascagempa.
“Kalau dari segi ekonomi progress-nya baik, karena podes dikutip bulan Mei 2018 dan kondisi NTB saat itu baik-baik saja,” ungkapnya.
Ia juga menuturkan jika dilihat dari aspek ekonomi secara khusus, maka berkaitan dengan peningkatan industri kain tenun mencapai 53 persen yang tersebar di 408 desa.
Jika dihubungakan dengan aktivitas ekononi tentunya juga ada dampak untuk aktivitas pariwisata.
“Karena lingkungan mendukung, potensi ada dan permintaan pasarnya cukup maka industri kain tenun berkembang cukup besar. Ini salah satu hasil perindustrian yang unik dan khas kedaerahan, maka sering kali orang membeli sebagai oleh-oleh,” terang Suntono.
Sementara itu, industri dari kayu juga mengalami peningkatan sebesar 15 persen dan tersebar di 818 desa. Begitu pula pada industri gerabah, keramik atau batu naik sedikit sebesar 4 persen tersebar di 556 desa. (IL4)