Mataram (Inside Lombok) – Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Barat mengatur kuota penangkapan ikan hiu dan pari untuk mencegah dari kepunahan dan menjaga kelestarian biota di laut.
Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Provinsi NTB, Lalu Wahyudi Adiguna mengatakan, ikan hiu dan pari merupakan spesies prioritas konservasi namun juga merupakan sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan masyarakat.
“Masyarakat Lombok Timur telah memanfaatkan hiu dan pari dari generasi ke generasi, di mana perikanan hiu menjadi sumber mata pencaharian penting bagi lebih dari 180 keluarga nelayan di dua desa, yaitu Desa Tanjung Luar dan Gili Maringkik,” ujarnya di Mataram, Senin.
Ia menjelaskan, mempertimbangkan kondisi kerentanan alami hiu dan pari secara biologis, maka perlu dilakukan pengelolaan kolaboratif untuk kelangsungan kesehatan populasi hiu di alam dan kesejahteraan masyarakat nelayan.
Karena itu, pihaknya melakukan inisiasi pengelolaan perikanan hiu yang berkelanjutan secara kolaboratif. Upaya tersebut memiliki dasar hukum yang disahkan melalui Peraturan Gubernur (Pergub) no 55 tahun 2020. Salah satunya adalah upaya memfasilitasi aspirasi masyarakat untuk perikanan hiu dan pari yang berkelanjutan.
“Kami telah menginisiasi diskusi di masyarakat terkait pengajuan jumlah hiu yang diperbolehkan ditangkap melalui kuota penangkapan. Pertemuan tersebut diadakan pada 19 Oktober 2020 dan dihadiri oleh nelayan, pengepul, pemerintah daerah, dan akademisi. Melalui pertemuan itu didiskusikan nilai pengajuan kuota tangkap untuk beberapa spesies prioritas, yaitu hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis), hiu martil (Sphyrna spp.), pari kekeh (Rhynchobatus australiae), dan hiu tenggiri (Isurus oxyrinchus),” jelas Wahyudi Adiguna.
Wahyudi mengatakan, pengelolaan perikanan berkelanjutan tidak saja mementingkan kelestarian alam, tapi juga kesejahteraan masyarakat.
“Terdapat stigma negatif terhadap perikanan hiu dan pari di Lombok Timur. Di sisi lain perikanan hiu dan pari di Lombok Timur merupakan permasalahan kompleks yang harus diselesaikan secara sinergis antar para pihak. Pengelolaan perikanan berkelanjutan artinya tidak hanya mementingkan kelestariannya di alam, namun juga kesejahteraan masyarakatnya,” ucapnya.
Rektor Universitas 45 Mataram, Dr Evron Asrial, berpendapat bahwa angka kuota tangkap harus ditetapkan berdasarkan pendekatan ilmiah dan data yang tersedia, contohnya tren jumlah tangkapan, jumlah trip melaut, dan tren jumlah kapal.
“Relevansi antara pendekatan ilmiah dengan kondisi di lapangan perlu dipertimbangkan, karena hiu faktor biologinya berbeda dengan ikan bertulang sejati maka angka kuota tangkap harus berdasarkan kapasitas maksimal lestarinya,” ujarnya.
Seorang pelaku usaha perikanan hiu, Suparman mengatakan usaha hiu telah sulit dilakukan mengingat banyaknya regulasi tentang usaha ini.
“Kami telah melakukan usaha sejak 1980-an, ketergantungan pada usaha ini sangat tinggi. Kami selalu berusaha mematuhi semua regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah, maka dari itu kami membutuhkan solusi riil dari pemerintah dan pihak terkait untuk membantu usaha kami,” katanya.
Selain Suparman, pelaku usaha perikanan hiu yang lain adalah Hasanuddin. Hasanuddin mengungkapkan bahwa jumlah tangkapan dari tahun ke tahun selalu berbeda khususnya hiu lanjaman (Carcharhinus falciformis). Jika jumlah kuota yang diajukan tidak dievaluasi, dikhawatirkan perdagangan dan pengelolaannya tidak akan optimal.
Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai Management Authority CITES untuk kelompok ikan akan memberikan angka jumlah individu kuota tangkap yang selanjutnya boleh diperdagangkan baik dalam negeri maupun luar negeri. Melalui Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Denpasar, pedagang produk hiu dan pari di Tanjung Luar mendapatkan pelatihan rutin terkait mekanisme perdagangan yang terkontrol.
WCS Indonesia Program, selaku lembaga non-profit yang bergerak dalam pelestarian satwa liar dan habitatnya, mendampingi masyarakat hiu dan pari di Tanjung Luar menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian perlu dilakukan mengingat Tanjung Luar menjadi desa pengelola perikanan hiu dan pari pertama di Indonesia, perlu dilakukan evaluasi yang dilakukan secara kontinyu agar pemanfaatan hiu dan pari tidak mengganggu populasinya di alam. (Ant)