Mataram (Inside Lombok) – Manajemen STIE AMM Mataram mengaku telah melakukan langkah hukum dalam menyelesaikan persoalan sengketa lahan milik Pemda Lobar yang saat ini ditempatinya. Di mana proses hukum yang sudah berjalan saat ini sebagai bentuk kehati-hatian.
“Kita sebenarnya sudah melakukan langkah hukum itu, sehingga kita mohon permakluman dari Pemda Lobar. Karena kita sudah melakukan jalur hukum, biarlah jalur hukum ini jalan dulu” sebut Pembantu Ketua II Yayasan STIE AMM Mataram, Nizar, saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (18/11/2020).
Karena, kata dia, ketika jalur hukum sudah ditempuh maka prosesnya harus sesuai dengan prosedur. Sehingga Pemda tidak bisa memaksakan pihaknya untuk melakukan pembayaran sebelum keluar keputusan pengadilan atas jalur hukum yang telah ditempuh. Gugatan yang dilakukan pihak AMM pun sudah masuk di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Mataram dengan nomor pendaftaran perkara 64/G/2020/PTUN.MTR.
“Gugatan itu sudah masuk, nomor gugatannya sudah ada dan surat permakluman itu sudah dikirim juga ke bupati, permakluman ke gubernur dan biro hukum gubernur, serta ke Polda NTB” bebernya.
Pihaknya pun mengaku menghargai apapun keputusan pengadilan nantinya. Termasuk jika pihaknya memang diharukan untuk membayar sewa, maka tanpa keberatan pihaknya akan melakukan pembayaran sesuai dengan putusan hukum yang resmi keluar.
“Tapi selama proses itu berjalan kami mohon kebijakan dari pihak Pemda Lobar, bahwa ini loh kami mencari kejelasan dengan cara seperti ini” tandasnya.
Dalam hal ini pihaknya ingin proses penyelesaian persoalan penyewaan lahan tersebut dapat berjalan sesuai dengan aturan.
“Jangan sampai nanti misalnya kita sudah membayar sewa tapi dasar aturannya tidak ada, nanti ada pemerikasaan dari KPK misalnya tapi tidak ada dasar hukum dan kita dinilai kong kali kong (kerjasama), bayar ini tapi tidak ada dasar hukumnya, kan itu bisa kena dua duanya, jadi jangan sampai nanti seperti itu” jelasnya.
Sehingga pihaknya menempuh jalur hukum tersebut sebagai bentuk mencari kejelasan atas dasar hukum penarikan sewa lahan yang dilakukan Pemda tersebut. Terutama penagihan sewa yang berlaku surut untuk 10 tahun terakhir.
“Karena di SK tahun 1986 itu kan diberikan hak pakai, tidak disebutkan batas waktu, tidak juga disebutkan sewa menyewa, dan SK itu dicabut tahun 2020 ini. Berarti kan SK itu berlaku hingga dicabutnya atau dibatalkannya SK itu” tukasnya.
Sehingga pihaknya mempertanyakan dasar penagihan sewa yang dilayangkan Pemda dari tahun 2010 hingga 2020 ini. Ia menilai sebelum mengeluarkan surat penagihan seharunya ada kesepakatan terlebih dahulu dari kedua belah pihak.
“Kalau begitu kan bisa mati lembaga pendidikan ini. Mohon kebijakan Pemda untuk memaklumi, itu yang kita inginkan sebenarnya” tukasnya.
Kendati pun prosedur hukum yang telah ditempuh mengharuskan pihaknya untuk membayar, maka pihaknya akan membayar dengan mengupayakan negosiasi pembayaran yang disesuaikan dengan kemampuan pihaknya. Supaya, kata dia, lembaga pendidikan tersebut bisa terus berjalan.
“Kalau ini tutup, mahasiswa mau dikemanakan? Ini yang kita harapkan terbuka pikiran Pemda untuk memahami itu” tandasnya.
Sehingga pihak AMM menilai bahwa persoalan ini semakin membesar karena belum bertemunya cara berfikir dari pihak yayasan dan pihak Pemda.
“Ke depannya seandainya memang ada, kerjasamanya diubah. Kerjasama sewa menyewa, bukan kerjasama hak pakai. Karena kan kalau dipikir, 10 tahun mundur itu masih hak pakai yang berlaku” pungkasnya.
Pihak AMM berharap ke depan, perjanjian yang dilakukannya dengan Pemda dapat berjalan sesuai aturan, sesuai kesepakatan, bentuk kerjasamanya apa dan nilainya berapa, maka pihaknya tidak akan keberatan untuk melakukan pembayaran.
Pihak yayasan STIE AMM pun bantah tudingan bahwa pihaknya menyewakan ruko yang ada di areal kampus tersebut kepada masyarakat luar.
“Ruko ini tidak ada yang disewakan, semua itu dipergunakan untuk kegiatan praktikum wirausaha mahasiswa” tegas Kusuma Hidayat, Pembantu Ketua III yayasan STIE AMM Mataram.
Karena STIE AMM, lanjut dia, memiliki program yang namanya program mahasiswa wirausaha (PMW) yang dalam pelaksanaannya mendapatkan bantuan dari Dikti.
“Sebenarnya harapan kita supaya nanti ke depannya mahasiswa ini bisa menjadi wirausaha makanya kita bangunkan mereka kios-kios ini untuk praktek” tutupnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala BPKAD Lobar, H. Fauzan Husniadi, menyebut bahwa sesuai dengan aturan Permendagri yang baru sudah diatur terkait perpanjangan pinjam pakai yang harus dilakukan setiap lima tahun.
“Itu lima tahun baru diperpanjang, kalau dulu maksimal 25 tahun pinjam pakai itu” tandasnya.
Namun, sampai hari ini, Pemda tidak pernah menerima laporan apapun dari pihak AMM terkait perkembangan maupun pemeliharaan atas lahan tersebut.
“Tidak ada laporan dan semua kewajiban apapun yang ada di SK pada tahun 86 tidak ada yang pernah dilakukan sama sekali oleh AMM” ungkapnya.
Dalam SK tersebut terdapat beberapa kewajiban yang seharusnya dilakukan AMM. Dalam hal ini termasuk memelihara, menjaga dan pensertifikatan lahan tersebut. Namun hingga 34 tahun menempati, pihak AMM tidak melakukan itu. Justru Pemda yang saat ini melakukan pensertifikatan untuk lahan tersebut.
“Dulu pernah ada dilakukan pengajuan pensertifikatan yayasan ini, tapi ditolak karena itu atas nama yayasan. Jadi ndak bisa, karena lahan ini kan milik Pemda Lobar” tandasnya.
Kemudian yang perlu juga dipahami oleh pihak AMM, kata dia, terkait pemda meminta kompensasi kepada mereka terkait pemanfaatan lahan Pemda yang telah digunakan selama 34 tahun tersebut.
“Yang perlu dipahami, dia itu komersil sekarang, bukan yayasan, dia itu perkumpulan” ungkap Fauzan.
Terkait dengan penarikan biaya sewa tersebut, Fauzan menegaskan bahwa Pemerintah berhak menyikapi apapun kondisinya terkait apapun yang dimiliki. Sehingga Pemda akan mengambil alih lahan tersebut.
“Yang untuk pemanfaatannya ada undang-undangnya ndak mungkin ndak ada kita pakai untuk itu” tegasnya.
Sejauh ini pihaknya telah banyak mengeluarkan statemen sehingga sekarang pihaknya akan langsung mengambil tindakan yang tentunya sesuai dengan prosedur. Hari ini pihak BPKAD Lobar resmi melayangkan surat pengosongan lahan ke-dua kepada pihak AMM. Yang mana batas waktunya hanya tiga hari.
“Kami sudah beritikad baik, sudah menyurati mereka sejak 27 Juli, tapi kan mereka selalu bilang ini itu. Tapi saya tidak mau tahu, kalau tidak bayar, keluar” tegas Kepala BPKAD Lobar ini.
Ia mengaku bahwa Perbup terkait sewa lahan, tetapi karena ini bukan lahan pertanian, sehingga harus disikapi dengan yang lebih luas. Oleh karenanya Pemda pun melakukan appraisal untuk menentukan biaya sewa tersebut. Sehingga biaya sewa sebesar Rp 441 juta tersebut merupakan hasil appraisal tim independen.