Mataram (Inside Lombok) – Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat melimpahkan tersangka dan barang bukti kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) hasil penipuan investor untuk kawasan wisata di Pulau Lombok kepada pihak kejaksaan.
“Sudah kami limpahkan hari ini. Berkas dan tersangka kami limpahkan sebagai tindak lanjut hasil penelitian jaksa yang menyatakan berkasnya sudah lengkap,” kata Dirreskrimsus Polda NTB Kombes Pol. I Gusti Putu Gede Ekawana di Mataram, Senin.
Dari tempat terpisah, Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan membenarkan pihaknya sudah menerima pelimpahan tersangka dan barang bukti atau pelaksanaan tahap dua kasus TPPU tersebut dari pihak kepolisian.
“Pelimpahannya dilakukan ke Aspidum Kejati NTB,” kata Dedi.
Tersangka yang dilimpahkan kepada pihak kejaksaan ini adalah Zaenudin. Dalam berkasnya, Zaenudin diduga melanggar Pasal 3 juncto Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tindak lanjut pelimpahan tersebut, kata Dedi, penuntut umum melakukan penahanan terhadap tersangka di Mapolda NTB.
“Jadi, sekarang tersangka sudah ditahan. Penahanannya kami titipkan di Polda NTB,” ujarnya.
Terkait dengan kasus yang menahan tersangka dugaan pencucian uang hasil penipuan investor ini, penasihat hukum Zaenudin, M. Zihan Febriza, sebelumnya mengklaim bahwa kliennya tidak bersalah.
Aset pribadi berupa sertifikat lahan, rumah, dan kendaraan roda empat milik kliennya yang disita dalam kasus pencucian uang diyakini Zihan bukan merupakan hasil penipuan.
“Karena aset pribadi milik klien kami yang disita penyidik itu tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan jual beli lahan dengan pelapor,” kata Zihan didampingi rekan penasihat hukum lainnya, Zaenul Bakri.
Menurut dia, uang pelapor untuk pembelian sejumlah bidang lahan yang tersebar masif di Pulau Lombok itu sudah melalui perjanjian kesepakatan yang sah pada tahun 2014.
“Bahkan, ada sekitar 15 SHM (sertifikat hak milik) sudah mengatasnamakan pelapor, itu sudah diberikan oleh klien kami,” ujarnya.
Begitu pula dengan alas hak dari lahan seluas 4 hektare di wilayah Pandanan, Kabupaten Lombok Barat, yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram menyatakan Zaenudin terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana penipuan dan menghukum kliennya dengan pidana penjara selama 3 tahun.
Dalam putusannya pada tahun 2016 itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram menyatakan bahwa perbuatan Zaenudin telah mengakibatkan pelapor mengalami kerugian Rp10 miliar sesuai dengan harga lahan di Pandanan.
Selain pidana umum, Zaenudin juga diminta untuk membayar kerugian Rp16,295 miliar kepada pelapor sesuai dengan putusan perdata pada Pengadilan Negeri Mataram Nomor: 31/Pdt.G/2020/PN.Mtr.
“Dua putusan ini yang kemudian menjadi dasar pelapor melanjutkannya ke tindak pidana pencucian uang,” ujarnya.
Terkait dengan putusan pidana umumnya, Zihan menyayangkan langkah penyidik kepolisian pada Ditreskrimum Polda NTB yang tidak mengungkap keabsahan dari alas hak lahan di Pandanan yang kini dikuasai PT GWS berupa sertifikat hak guna bangunan (HGB).
Menurut hasil penelusuran fakta di lapangan, alas hak dengan nomor 40 itu, kata dia, diterbitkan berdasarkan pipil nomor 4409 pada tahun 1979.
“Setelah dicek, faktanya pipil nomor 4409 itu palsu dan tidak ada asal-usulnya,” ujarnya.
Untuk alas hak atas kepemilikan lahan yang aslinya, lanjut dia, masih dipegang oleh tersangka dan pernah dihadirkan ke hadapan penyidik. Meski demikian, alas hak berupa pipil tahun 1961 itu tidak juga diungkap di persidangan.
Bahkan, bukti kepemilikan tersebut yang menjadi dasar tersangka menjualnya kepada pelapor yang dikatakan Zihan hanya berperan sebagai nominee (pinjam nama) dari penyandang dana asal Amerika bernama Steven.
“Jadi, lahan di Pandanan itu bagian dari konversi sejumlah bidang lahan dalam perjanjiannya dengan pelapor,” kata Zihan.
Pembelian bidang lahan oleh pelapor bernama Andry Setiadi Karyadi dikatakan Zihan muncul sejak 2011. Ada sebanyak 20 lebih bidang lahan yang ingin dibeli oleh pelapor. Kalau dihargakan, kata dia, nilainya mencapai Rp50 miliar.
“Pada tahun 2011 itu pelapor mulai membayar tetapi bayar sebagian, nilainya Rp18 miliar dari total Rp50 miliar. Sisanya dijanjikan setelah semua sertifikat diserahkan,” ucapnya. (Ant)