31.5 C
Mataram
Minggu, 24 November 2024
BerandaBerita UtamaSempadan Pantai Tanjung Bias Diklaim Oknum, Ruang Publik di Pantai Terancam Hilang

Sempadan Pantai Tanjung Bias Diklaim Oknum, Ruang Publik di Pantai Terancam Hilang

Lombok Barat (Inside Lombok) – Sempadan pantai di kawasan pusat kuliner Tanjung Bias II, Desa Senteluk, Kecamatan Batulayar diklaim oleh oknum masyarakat sebagai lahan pribadi miliknya. Sengketa lahan tersebut kini sedang diproses di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, atas perkara perdata perbuatan melawan hukum.

Perkara tersebut turut menyeret Kades hingga BUMDes Senteluk, pihak kecamatan, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai pihak yang tergugat. Pasa Kamis (23/12) kemarin pun, majelis hakim bersama pihak yang bersengketa telah turun melakukan pengecekan dan pengukuran batas teritorial sempadan pantai yang seharusnya menjadi milik negara, dengan lahan yang diklaim oknum tersebut.

Jika mengacu pada regulasi yang ada, Pemdes bersama dengan KKP telah menegaskan bahwa sempadan pantai merupakan lahan milik negara. Kuasa Hukum penggugat, Abdul Hanan menyebut kliennya atas nama Ala Robin Sugih Mukti Ningsih memiliki luas lahan seluas 46 are. Dari jumlah tersebut, sekitar 44 are lahan miliknya mencakupi kawasan pantai Tanjung Bias II.

“Batas-batas yang sudah saya sebutkan tadi itu adalah batas-batas tanah milik klien saya, yang sudah ada sertifikatnya,” tegas Hanan saat ikut turun dalam pengecekan tanah bersengketa di Tanjung Bias beberapa hari yang lalu. Dengan begitu, sebagian dari lapak kuliner di kawasan Tanjung Bias II juga diklaim masuk dalam lingkup lahan yang dimaksudkannya.

Terkait regulasi mengenai sempadan pantai yang menjadi tanah milik negara, Hanan mengaku akan menyerahkan soal tersebut kepada majelis hakim. Karena menurutnya regulasi itu dikeluarkan pemerintah pada 2016 lalu. Sementara, sertifikat hak milik tanah yang dipegang kliennya telah terbit sejak 2004 silam.

“Sertifikat tanah milik klien kami terbit tahun 2004 dan regulasi itu baru terbit tahun 216. Jadi, silakan coba dipahami,” jelasnya.

Terpisah, Kades Senteluk, Fuad Abdulrahman mengakui pihaknya terkejut saat mendapati persoalan sengketa lahan tersebut. Terlebih sempadan pantai itu sekarang diklaim oleh oknum masyarakat sebagai lahan pribadi dengan menyertakan sertifikat kepemilikan.

“Kami khawatirnya kalau ini dibiarkan, ke depannya hal-hal seperti ini malah bisa dijadikan acuan oleh oknum-oknum lain yang mau juga mengklaim sempadan pantai. Bisa saja itu terjadi mulai dari Sekotong sampai Senggigi,” ketus Fuad.

Hal itu dikhawatirkan memberi dampak buruk ke depannya, bila persoalan ini dimenangkan dalam pengadilan. Bahkan buruknya lagi, lanjut Fuad, ruang publik di pantai bisa hilang jika terus diklaim sebagai milik pribadi.

“Itu kan bisa menimbulkan gesekan di tengah masyarakat dengan pihak yang mengklaim. Apalagi para nelayan yang selama ini menyandarkan perahunya di sempadan pantai ini,” bebernya.

Ia pun mengingatkan, agar persoalan semacam ini dijadikan atensi oleh pemerintah daerah maupun instansi-instansi terkait yang bertugas menangani persoalan tanah. Antara lain BPN yang menerbitkan sertifikat, hingga pengadilan.

Walau demikian, Fuad mengaku, pemerintah Desa Senteluk akan tetap berusaha mempertahankan tanah tersebut. Antara lain dengan menjelaskan kepada pengadilan, bahwa tanah sengketa itu merupakan sempadan pantai yang dalam aturan pemerintah telah ditetapkan sebagai tanah milik negara.

“Dengan regulasi Perbup dan Perda yang sudah ada sebelumnya, pesisir pantai itu tetap masuk dalam kategori sempadan pantai,” pesannya.

Fuad mengaku pihaknya menyayangkan minimnya keterlibatan Pemda Lobar dalam memperjuangkan tanah tersebut. Padahal, kata dia, pihaknya sudah mengkoordinasikan terkait persoalan itu.

“Ada Kabag Hukum Pemda, ada Dinas Kelautan, mari dong kita sinkronkan hal ini. Kalau yang diklaim itu menyentuh batas aman pantai, dong buatkan plang patok biar semua masyarakat tahu,” tegas Kades Senteluk ini.

Bagaimanapun, jelas Fuad, Perpres mengenai sempadan pantai tersebut dengan jelas mengatur kebijakannya yang tidak dapat ditarik mundur. Mengingat sertifikat tanah milik pihak terkait diklaim lebih dulu keluar dibandingkan pemberlakuan regulasi tersebut.

“Tapi kan sebelumnya ada Perda dan Perbup terkait aturan pesisir pantai. Kan itu bisa kita jadikan acuan,” tandasnya. (yud)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer