Lombok Barat (Inside Lombok) – Semakin melejitnya harga kebutuhan bahan pokok (bapok) seperti telur, cabai, hingga minyak goreng banyak dikeluhkan masyarakat dan pedagang. Khusus untuk minyak goreng, kenaikan harga disinyalir terjadi akibat semakin menipisnya bahan baku minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO).
“Tadi kita cek memang telur dan minyak goreng ada kenaikan, yang lain tidak ada ya,” kata Wakil Bupati Lobar, Hj. Sumiatun usai memantau harga dan ketersediaan bapok di Pasar Kediri, Selasa (28/12/2021).
Ia menyebut stok bapok lainnya seperti beras, untuk wilayah Lombok Barat masih tetap aman. Namun harga telur, cabai, hingga minyak goreng diakui mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
“Kalau harga kan kenaikannya hanya minyak goreng dan telur, karena sekarang telur ini kan kita sudah gak pakai yang luar (impor, red), kita pakai stok lokal aja,” bebernya.
Terkait dengan kenaikan harga cabai, ia mengaku saat ini sudah mulai ada penurunan. Di mana per kilonya sekarang dipatok Rp65 ribu. Sementara pekan lalu, harga cabai per kilo bisa tembus sampai Rp75 ribu.
“Kalau kita bilang stabil sih (bapok dan bumbu dapur) masih belum ya, karena masih harganya agak tinggi,” akunya.
Sementara itu, Manager Sales Marketing Jembatan Baru (JB) Kediri, Firman mengaku memang harga minyak goreng saat ini sedang melambung tinggi. Bahkan dalam satu tahun, di sepanjang 2021 ini, sudah 13 kali terjadi kenaikan harga.
“Kalau mau mematok dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) tahun lalu sudah tidak relevan lagi, karena kenaikannya sudah jauh,” beber Firman.
Sebagai distributor langsung yang mengambil produk minyak dari pabrik, dari hasil koordinasi yang dilakukan pihaknya diketahui melambungnya harga juga dipengaruhi oleh bahan baku minyak goreng yang saat ini sudah tidak ada lagi di Indonesia.
“Kenapa harga minyak naik tinggi ada beberapa faktor. Pertama bahan baku, karena di Indonesia sudah tidak ada lagi bahan baku, CPO sudah tidak ada” tuturnya.
Padahal, harusnya Indonesia menjadi penghasil CPO tertinggi di dunia, baru kemudian Malaysia. Namun, kondisi pandemi ini dinilai turut juga berpengaruh terhadap kuantitas produksi CPO itu sendiri.
Seperti halnya di Malaysia, kondisi produksi CPO turun drastis. Karena para buruh yang biasanya datang dari Indonesia bekerja di perkebunan sawit sudah tidak sebanyak dulu. Karena pembatasan akibat pandemi, begitu pun yang sudah lama bekerja di sana banyak yang dipulangkan.
“Itu menyebabkan produksi di Malaysia turun drastis. Dan di dunia, minyak itu produksi bahan bakunya juga sama-sama sedang turun,” papar dia.
Kondisi bahan baku yang tidak bisa mengimbangi kebutuhan konsumen dunia menyebabkan CPO yang diproduksi Indonesia dikirim ke luar negeri. “Sehingga bahan baku di Indonesia ikut turun. Karena bahan baku sedikit, jadi harga minyak goreng di Indonesia ikut naik” jelas Firman.
“Pabrik minyak di Indonesia pun saat ini bisa dibilang saling rebutan bahan baku,” imbuh dia.
Oleh karena itu dia menyebut harga minyak goreng setiap bulannya menjadi terus naik. Kondisi itu pun diprediksi masih akan terus berlangsung hingga tahun depan.
Menurutnya, dalam kondisi ini, diperlukan ketegasan pemerintah untuk mengontrol penetapan HET yang bisa dikatakan normal dan mampu dijangkau oleh masyarakat. (yud)