Tuaq Irun memandang seisi rumahnya. Dinding anyaman bambu sudah mulai robek di bagian depan dan belakang. Di tengah-tengah beberapa pancang bambu mulai doyong. Angin mengeluh masuk melalui celah-celah anyaman yang terbuka dan membawa aroma kemarau, tanah retak, kotoran manusia yang mengering, dan bangkai anjing di kejauhan. Istrinya di sudut, di bale-bale tempat mereka berbagi tidur dengan tiga anak mereka- dua balita dan satu bayi. Napasnya pelan, dan setiap tarikannya, Tuaq Irun bisa melihat tulang leher istrinya mengejang. Istrinya memangku bayi mereka yang demam sejak beberapa hari yang lalu. Bayi itu sudah tidak menangis lagi dan napasnya sama dengan napas ibunya, dengan tambahan tulang rusuk yang tercetak di kulit tipisnya. Dua anak mereka yang lain, hanya berbaring. Mata mereka tertutup, dan napas mereka satu-satu. Aroma bangkai anjing kembali menyergap, kali ini tanpa ampun. Tapi Tuaq Irun sudah tidak punya apa-apa lagi di perutnya untuk dimuntahkan.
Napasnya sendiri berat, dan dengan memejam, pikiran Tuaq Irun berlayar ke rumah tetangga-tetangganya. Seminggu yang lalu Amaq Inuk membacok istrinya. Tetangga-tetangga yang masih memiliki tenaga, menghambur untuk melihat pemandangan memilukan itu. Beberapa mencoba menahan Amaq Inuk menetakkan parang ke Inaq Suni. Perempuan-perempuan menjerit-jerit. Amaq Inuk berteriak-teriak keras sambil terus menyabet parangnya. ‘Bawi iyaq. Ini sudah halal sekarang. Nanti saya bagi-bagi untuk kita semua. Ayo, bantu gorok!’ pekiknya sambil menghunjam tubuh istrinya.
Istrinya rebah, darah muncrat dari lehernya. Lalu berleleran di sekitar tanah yang retak-retak. Tiga lelaki akhirnya berhasil merampas parang dari Amaq Inuk, menghempasnya ke tanah, dan salah satu dari mereka menampar Amaq Inuk. Belingsatan Amaq Inuk melayangkan tinju ke arah penamparnya, namun lebih banyak lagi yang merangsek, memiting, dan akhirnya berhasil merobohkan Amaq Inuq ke tanah, dekat dengan tubuh istrinya yang berkelojotan dan lalu diam. Saat itulah Amaq Inuq menyadari bahwa bukan babi yang hendak digoroknya, dan ia meraung keras. Ia memanggil-manggil nama istrinya. Orang-orang mundur. Sebagian memalingkan muka. Amaq Inuq lapar. Terlalu lapar. Seperti mereka semua di sekitarnya. Laparnya sudah melewati ambang ketahanan, menyandera otaknya dan memburamkan matanya. Ada yang bergerak di pekarangan, dan Amaq Inuk melihat yang bergerak itu adalah babi hutan. Babi hutan adalah makanan. Babi hutan adalah makanan yang halal dalam situasi hidup mati seperti ini. Ia ambil parang dan menetaknya. Hanya saja, ini bukan lagi babi hutan. Ini istrinya. Maka, masih meraung Amaq Inuq mengambil parang yang tergeletak di dekat kakinya, dan begitu saja membacok dirinya sendiri.
Tuaq Irun menarik napas lagi. Ia pandangi istri dan anak-anaknya. Ia tidak mau menjadi Amaq Inuk kedua. Atau Amaq Nasih. Yang mengambil daun-daun asam muda untuk campuran merebus bebalung. Orang-orang berdecak iri karena jangankan daging, sudah beberapa bulan mereka tidak pernah melihat beras. Makanan paling mewah saat itu adalah jagung, atau ketela. Kalau mereka bisa menemukan daun turi, maka itu akan menjadi rebutan orang sekampung. Orang-orang tidak punya uang. Pemotongan kurs mata uang dari seribu menjadi satu rupiah, membuat sebutir ubi paling murah seharga empat ratus rupiah. Beras, minyak, dan segala kebutuhan pokok, sudah jauh-jauh hari dibawa ke tengah laut oleh kapal-kapal besar. Kapal-kapal Bung Besar, dan ditenggelamkan ke sana. Mereka semua tidak habis pikir kenapa makanan diborong oleh orang-orang itu, hanya untuk dibuang ke laut. Lalu Amaq Nasih, sama laparnya dengan Amaq Inuk. Lapar membuat otaknya menciut, dan ia merebus tulang-tulang anjing di halaman, dengan taburan daun-daun asam muda.
Dengan langkah terseret, Tuaq Irun menuju dapur dan melumeri tubuhnya dengan minyak jelantah dan berjalan ke luar. Bulan mengangguk-angguk dilewati sekelompok awan. Tuaq Irun mengambil linggisnya. Ia kembali masuk mendatangi bale-bale tempat anak istrinya berbaring, linggis di tangannya. Diangkatnya linggis tinggi-tinggi. Sepercik cahaya bulan mengenai linggis yang keperakan. Ia tahu ia harus ke utara, ke rumah Mamiq Tuan. Mamiq Tuan pernah naik haji, maka mestilah ia memiliki makanan yang lebih layak dibanding mereka semua. Diturunkannya kembali linggisnya.
Rumah Mamiq Tuan sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan yang lain. Dinding anyaman bambu, hanya saja tidak banyak lubang seperti rumah Tuaq Irun. Mengendap-ngendap, Tuaq Irun menjajal tanah di luar. Sasarannya adalah dapur. Pasti ada bertongkol-tongkol jagung yang dikeringkan di para-para. Tuaq Irun menancapkan linggis dan menggali lubang di bawah dinding bambu terluar. Napasnya memburu, tapi ia girang karena sudah berhasil membuat lubang seukuran tubuhnya, menjorok dan tembus ke dalam. Tidak lama kemudian, dengan penuh kehati-hatian, Tuaq Irun menyelinap masuk.
Mata Tuaq Irun mengerjap-ngerjap. Rasanya seseorang telah menyiramkan cahaya ke mukanya. Ia mendongak. Dengan ngeri ia bisa melihat wajah garang Mamiq Tuan dibalik lampu senter yang menyorot darinya. Terlambat. Ia telat menyadari kalau suara galiannya telah membangunkan pemilik rumah, dan wajah Tuaq Irun menjadi lebih putih dari cahaya senter Mamiq Tuan.
‘MAALIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINGGGGGGGGGGGG’, teriak Mamiq Tuan. Detik berikutnya Tuaq Irun merangkak mundur secepat mungkin ke lubang galiannya. Tanah berhamburan mengenai bajunya, rambutnya, matanya dan sebagian masuk ke mulutnya, namun ia berhasil merangsek masuk. Sarungnya tiba-tiba dibetot, ia merasa kebas. Lalu hal berikut yang dirasakannya beruntun, tidak ada lagi sarung yang melilit pinggangnya, dan sebuah tangan mencengkram pundaknya. Tuaq Irun menggeliat, meronta, dan meludah ke segala arah yang bisa dicapainya. Betotan tangan itu terlepas dan minyak jelantah di tubuh Tuaq Irun mengilap sebelum meninggalkan aroma pahit di udara. Tapi Tuaq Irun berhasil keluar, sarungnya lama terlepas, dan telanjang bulat ia tunggang langgang ke arah selatan. Di belakangnya, Mamiq Tuan menyumpah-nyumpah dan melemparkan senternya.
Setelah merasa jarak yang cukup aman, Tuaq Irun memelankan larinya, lalu memberanikan diri berjalan. Angin dinihari mengejek sekujur tubuhnya seperti jarum-jarum dingin. Angin yang sama menusuk-nusuk selangkangannya, membuatnya mengerut dan menggerutu. Di langit, tidak ada lagi awan yang menutupi bulan, memaksanya menelungkupkan tangan menutup selangkangannya. Namun setelah merasa konyol sendiri karena ia sendirian, ia lepaskan tangkupannya. Kelaminnya tercepuk-cepuk di antara langkah-langkahnya, tapi ia tidak punya waktu memikirkannya. Ia terus berbelok ke selatan, menuju area persawahan. Padi-padi belum ditanami, namun air menggenang di ceruk-ceruk, dan cahaya bulan yang menimpa membuatnya seperti kilau berlian. Setetes dua tetes embun buyar terkena pijakan kaki Tuaq Irun. Di bawah langkahnya, di tepi pematang, satu-dua katak kasmaran saling bersahutan sebelum melompat ke ceruk terdekat. Bunyi air yang ditimbulkannya menerbitkan haus Tuaq Irun. Ia membungkuk, menciduk air sawah, dan dengan rakus meminum airnya.
Tiba-tiba ia terhenti. Tidak jauh dari tempatnya, ia bisa mendengar langkah-langkah kaki. Tuaq Irun tidak yakin apakah itu hanya pengembala ternak atau langkah kaki pengejarnya. Dengan berjingkat ia menjauhi pematang, terus menuruni kali di bawahnya. Ia benci ini, air kali akan sedingin es saat ini. Tapi ia teringat wajah belingsatan Mamiq Tuan, dan karenanya air sungai tidak terlalu dingin lagi saat ia memasukinya. Tapak kaki itu semakin dekat, dan kini dibarengi dengan cahaya senter menyorot ke segala arah. Yakinlah Tuaq Irun bahwa pengejarnya hampir sampai. Dengan hati-hati dan sepelan mungkin, ia berenang ke tengah sungai. Satu cahaya senter menyorot ke sungai tidak jauh darinya. Mengambil napas dalam-dalam, Tuaq Irun menyelam dan berdoa kepada siapa saja yang mau mendengarkan doanya- agar lampu senter itu tidak menyorot ke arahnya. Napasnya hampir habis, dadanya sesak, namun doanya terkabul. Lampu senter tidak lagi menyala, dan tidak ada lagi bunyi tapak kaki. Pelan-pelan, Tuaq Irun muncul ke permukaan, menarik napas yang dalam. Ia tajamkan pendengaran, dan setelah yakin tidak ada orang, ia menepi.
Sekarang apa, pikirnya. Ia tidak bisa segera pulang atau bahkan pergi kemana saja. Ia telanjang bulat, dan di kejauhan ayam-ayam mulai berkokok. Sebentar lagi langit akan berdandan dengan semburat kemerahan, dan ia masih akan telanjang. Tidak ada daun-daun di sungai yang cukup lebar untuk bisa menutupnya, tapi ia putuskan untuk naik dari sungai. Mungkin ia akan pulang dalam keadaan seperti itu. Lalu rasa dingin, lapar, dan rasa putus asa yang getir dan basah mulai menerbitkan dirinya di sudut-sudut mata. Tuaq Irun menghapusnya, dan naik lagi ke pematang. Kini, sambil menutup selangkangannya, ia berjalan ke arah barat.
Rumput-rumput di pematang rebah di pijakannya, dan jalan setapak mulai melebar. Di kejauhan, Tuaq Irun bisa melihat cahaya lampu teplok. Ada sebuah gubuk kecil di persawahan itu. Gubuk penjaga sawah. Ragu, namun tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya, ia mendekati gubuk itu dan mengetuk pintunya. Ada suara menyahut dari dalam.
‘Sai k eto w?’
‘Aku iyaq. Apa boleh saya minta tolong?’ Suara dari dalam gubuk menjelas, dan berikutnya pintu dibuka. Tuaq Irun menahan laju pintu.
‘Tolong, jangan dibuka lebar, Belondan k iyaq. Edaq selewoqkh’. Suara Tuaq Irun memelas.
‘Astaga, kenapa bisa begitu, Saudaraku? Apa yang kamu perlu?’ tanya suara dari dalam.
‘Tolong, kalau ada sarung, beri saya sarung. Kalau ada makanan, saya akan sangat berterima kasih…’ Ada sesuatu dalam suara Tuaq Irun barangkali, yang menggerakkan pemilik suara dalam gubuk melongokkan kepalanya. Seorang lelaki dengan cambang tebal, matanya membelalak.
‘Astagfirullah, Tuaq Irun! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa bisa di luar begini? Apa yang terjadi dengan pakaianmu?’ Lalu suara tergopoh lelaki itu memanggil istrinya untuk menyiapkan sarung. Tuaq Irun menggigil. Giginya beradu dan tangannya gemetar saat menerima sarung. Limbung, ia bersandar pada tiang bambu di luar. Lelaki yang mengenalinya itu memapah Tuaq Irun dan mendudukkannya di bale-bale luar. Dan begitu saja, meluncurlah segenap peristiwa yang dialaminya, diceritakannya pada lelaki gubug itu.
‘Masih Asih ngaji? Dimana dia mengaji sekarang?’ tanya Tuaq Irun pada lelaki itu.
‘Ada tetangga yang mengajarinya mengaji, tapi dia hanya senang diajar mengaji oleh Side, Tuaq Irun’. Jawab lelaki itu. Ia memandang Tuaq Irun. Sekelebat iba merayap di wajahnya, disusul sesal. Tuaq Irun menangkap itu, dan menundukkan wajah.
‘Sebaiknya aku pulang sekarang. Anak istriku masih menunggu makanan’ ujarnya perlahan. Lelaki itu menahan tangannya. Ia mengisyaratkan agar Tuaq Irun menunggu. Tergesa ia masuk ke gubuk, dan kembali dengan dua tongkol jagung tua.
‘Kami hanya punya empat tongkol. Tapi bawalah ini. Kau lebih memerlukannya, Tuaq’, kata lelaki itu. Tuaq Irun menatapnya, bibirnya gemetar. Ia mengangguk pelan, dan melangkah pergi. Matahari lahir di ufuk, dan seperti bayi, ia menggeliat dan merah di cakrawala.
Ketika Tuaq Irun sampai di rumahnya, pintunya sudah separuh terbuka. Ia setengah berlari ke dalam. Di dalam, ia dapati tubuh istrinya kaku, matanya membeliak. Bayi mereka di gendongannya juga kaku, matanya membeliak seperti mata ibunya. Tubuh Tuaq Irun dingin dan juga kaku, matanya membelalak. Sedetik, ia tidak merasakan kakinya. Lalu, setelah ia temukan lagi kakinya, ia berlari mendekati mereka. Terburu-buru ia meletakkan jarinya di bawah hidung istrinya dan bayi mereka. Tidak ada napas di sana. Dirabanya dada mereka, tidak ada detak di sana. Tuaq Irun terduduk, matanya liar, tangannya menjangkau rambut dan menjambak-jambaknya. Ia ingin menjerit, tapi pedih sudah mencuri segala sesuatu darinya, termasuk pita suara. Ia mual, tapi bukan dari bau bangkai anjing yang masih setia menggantung di sekitar mereka. Lalu, ia melihat tangan dua anaknya yang di dekat kaki ibunya, bergerak pelan. Tangan-tangan mereka menggapainya. Hati Tuaq Irun mencelos, lalu tumbuh kupu-kupu di dalamnya, harapannya mulai membumbung bahwa dua anaknya yang lain masih hidup.
Segera dinyalakannya tungku. Seperti orang gila, ia pesiangi jagung yang dibawanya, Biji-biji jagung berhamburan ke dalam wajan, mendesis-desis dan berlompatan. Sebagian lagi masuk ke dalam tungku dan pecah meletup-letup. Wangi jagung bakar tercium di udara, mengalahkan bau bangkai anjing. Tuaq Irun menggendong dua anaknya ke dekat tungku. Api adalah kehangatan. Api adalah harapan. Api adalah kehidupan. Dan jagung, adalah ruhnya.
‘Lihat, Nak. Jagungnya sudah matang. Jagungnya enak. Jagungnya sudah matang’, kata Tuaq Irun berulang. Satu anak didudukkannya di pangkuan kiri, dan satu anak didudukannya di pangkuan kanan. Kepala mereka menghadap tungku, lalu perlahan terkulai.
Di atas tungku, jagung-jagung terus meletup. Di udara, aroma jagung dan bangkai anjing bertemu, bersilang, dan dikawinkan angin pagi. ***
Istilah Bahasa Sasak:
Bawi iyaq: Ini babi
Bebalung: sup iga yang biasanya direbus dengan campuran daun asam muda
Sai k eto w: Siapa di sana?
Aku iyaq: Ini saya.
Belondan k iyaq: Saya telanjang ini.
Edaq selewoqkh: Saya tidak bersarung
Side: Kamu/Anda
Julia F. Gerhani Arungan lahir di Lombok, 13 Juli 1982. Menulis puisi, cerita pendek, dan naskah drama. Sejumlah puisinya masuk dalam bunga rampai Seratus Penyair Perempuan (KPPI, 2014), Dari Negeri Poci 5: Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil, 2014), Taman Pitanggang (Akarpohon, 2015), dan Ibu (Antologi Kata, 2019). Menulis antologi puisi tunggal ‘Ibuku Mengajari Bagaimana Mengisi Peluru’ (CV Halaman Indonesia dan Akarpohon, 2021). Sekarang bermukim di Sandik, Lombok Barat.