Mataram (Inside Lombok) – Iin Farliani, penulis muda asal Kota Mataram mewakili NTB di dua festival internasional; Makassar International Writers Festival (MIWF) dan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Keduanya adalah festival taraf internasional yang dihelat di Indonesia.
Iin sendiri akan mengisi sesi sebagai pembicara di masing-masing festival internasional tersebut. Kesempatan tersebut dipakainya untuk memperluas jaringan dan mendorong geliat literasi, baik di Indonesia secara umum atau di Lombok secara khusus.
“Saling berbagi ilmu dengan penulis-penulis yang terpilih dan memperkenalkan karya kita ke khayalak umum. Karya bagus harus mendapat jaringan yang juga bagus agar bisa dibaca banyak orang. Kesempatan di MIWF dan UWRF adalah memperkenalkan karya kita, selain juga mendapat pengalaman-pengalaman baru yang nantinya bisa menjadi bahan tulisan,” ujar Iin kepada Inside Lombok, Selasa (31/5).
Sebagai informasi, MIWF adalah festival penulis yang diselenggarakan oleh Rumata ‘Artspace sejak 2011. Festival tersebut meraih penghargaan International Excellence Award sebagai festival sastra terbaik 2020 dari London Book Fair. MIWF adalah festival penulis internasional pertama dan satu-satunya di Indonesia Timur yang dikerjakan secara independen dan mendeklarasikan diri sebagai festival yang menentang all-male panel sejak Maret 2020.
Festival tersebut bertujuan menyebarkan dan merayakan sastra, meningkatkan minat baca serta mendorong cara berpikir kritis. Selama sepuluh tahun MIWF menjadi salah satu ajang sastra dan budaya terkemuka di Indonesia.
Tidak kalah prestisius, UWRF adalah festival sastra tahunan garapan Yayasan Mudra Swari Saraswati dan sudah berjalan selama 18 tahun. Mulanya, festival ini diselenggarakan sebagai upaya pemulihan pariwisata Bali pasca tragedi Bom Bali 2002, hingga saat ini UWRF berhasil menjadi festival sastra terbesar di Asia. Berkelas internasional, UWRF tidak hanya diikuti oleh para penulis. Namun turut disemarakkan oleh para seniman, pemikir, hingga pementas dari penjuru dunia.
Menurut Iin, adanya forum penulis yang digelar di festival-festival tersebut membuka ruang membangun jaringan pertemanan antar penulis. Hal ini penting, untuk menjangkau pembaca yang lebih luas dan menghidupkan iklim literasi secara umum. “Sudah bukan zamannya lagi penulis mesti menyendiri saja. Menyendirinya nanti saja saat proses menulis karya. Tetapi kalau karya sudah dipublikasikan, penulis harus aktif membangun jejaring,” ujar alumnus Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mataram tersebut.
Hingga saat ini Iin sendiri telah menerbitkan dua buku. Antara lain buku kumpulan cerita pendek (cerpen) “Taman Itu Menghadap ke Laut” (2019) dan buku puisi yang baru terbit “Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi”. Karya puisi dan cerpennya pun termaktub dalam berbagai antologi bersama. Karya tulisnya baik fiksi dan non fiksi sudah banyak tersebar di berbagai media cetak maupun daring.
Perempuan kelahiran 4 Mei 1997 itu pun telah menekuni dunia penulisan sejak duduk di bangku sekolah dasar. Namun menjadi penulis profesional dimulainya sejak duduk di bangku kelas dua di SMAN 2 Mataram.
“Saya menyukai bidang ini dan saya hanya ingin tetap mengerjakan hal-hal yang saya sukai. Karena tidak tahu juga dikasih jatah umur sampai kapan. Jadi selagi ada kesempatan, teruslah berkarya,” ujar Iin. Kendati, karirnya sebagai penulis bukan tanpa tantangan.
Konsistensi dan disiplin dalam berkarya disebut Iin menjadi kunci yang membantunya menekuni profesi penulis. Khususnya dalam menghadapi tantangan, baik dari luar maupun dalam diri.
“Tantangan dari luar juga banyak. Misalnya kalau karya kita tidak terlalu diapresiasi orang itu bagaimana supaya tidak mudah berkecil hati; menanggapi komentar nyinyir tentang karya kita. Intinya bagaimana supaya tidak mudah dijatuhkan oleh pandangan dari lingkungan terkait profesi penulis itu,” ungkapnya.
Iin pun menyoroti minimnya fasilitas pendukung, dalam hal ini buku-buku, yang tersedia di perpustakaan-perpustakaan daerah. Padahal buku-buku itu penting untuk menunjang profesinya sebagai penulis, kaitannya dalam mencari referensi dan bahan penulisan.
“Selama ini saya tergantung bacaan dari Komunitas Akarpohon dan Komunitas Teman Baca karena buku-buku baru selalu ada. Yang sangat disayangkan adalah fasilitas publik semacam perpustakaan daerah dan perpustakaan kota yang koleksi buku barunya sangat sedikit,” jelasnya.
Iin menyayangkan perpustakaan-perpustakaan yang tidak memperbarui koleksi bukunya. Bahkan seolah menutup mata pada karya-karya penulis daerah sendiri, yang saat ini mulai banyak diterbitkan.
“Banyak penulis Lombok yang muncul dengan buku baru. Tapi itu tidak ada di Pusda atau Puskot. Jadi masyarakat umum kurang tahu siapa saja penulis Lombok. Fasilitas umum semacam perpus itu juga jarang sekali mengadakan acara terkait buku,” ujar Iin.
Di sisi lain, perpustakaan menurutnya perlu juga mengadakan acara-acara terkait buku. Semisal acara bedah buku penulis daerah, mengingat posisi perpustakaan yang banyak dikunjungi mahasiswa dan pelajar, sehingga kegiatan tersebut bisa mendekatkan karya penulis lokal ke bidang akademik.
“Supaya penulis dikenal juga di daerahnya sendiri. Perpustakaan mestinya mengambil peran itu, lebih giat lagi membuat kegiatan,” ungkapnya. Menurut Iin, jika perpustakaan hanya berperan sebagai tempat meminjam dan mengembalikan buku, maka perpustakaan menjadi tidak hidup dan membosankan. (r)