Lombok Timur (Inside Lombok) – Status haji merupakan gelar yang disematkan bagi umat Islam yang telah menjalani ibadah ke Tanah Suci Makkah. Namun faktanya, dari berbagai negara di dunia hanya orang Indonesia yang menyematkan status tersebut di namanya.
Sejarawan Indonesia yang juga pelopor pembentukan History-Preneur, Asep Kambali berhasil menggali asal-usul fenomena penyematan status haji pada nama masyarakat Indonesia yang telah tuntas melaksanakan ibadah ke Tanah Suci tersebut.
Menunaikan ibadah haji memang merupakan salah satu rukun Islam, dan di Indonesia siapa saja yang selesai menunaikan ibadah haji langsung diberikan gelar “haji” bagi laki-laki atau “hajjah” bagi perempuan. Dilansir dari unggahan video Tiktok @Asep Kambali, sejarawan yang juga merupakan lulusan S2 Universitas Paramadina itu menjelaskan status tersebut rupanya diberikan oleh para penjajah kepada masyarakat Indonesia di awal abad ke-20.
“Pada abad itu setidaknya ada dua paham yang menggelorakan perlawanan kepada pemerintah kolonial Belanda, yakni paham Pan Islamisme dan Komunisme,” ucap Asep Kambali pada videonya.
Kedua paha ditakuti oleh pemerintah penjajah, sehingga dibuatlah kebijakan tertentu untuk mengendalikannya. Salah satunya yakni pada tahun 1916 dengan memberikan gelar haji di depan nama dari setiap penduduk muslim yang ada di Hindia Belanda dengan maksud agar mudah untuk diawasi.
Dengan semangat yang bergelora dari para tokoh Islam di Indonesia yang kembali menunaikan ibadah haji, maka gelar haji disematkan bagi para pemberontak oleh penjajah Belanda bagi para penduduk pribumi.
“Fakta sejarah ini sudah cukup lama saya tahu sejak 15 tahun silam,” ucapnya pada Inside Lombok melalui Instagram, Jumat (10/06).
Ada beberapa tokoh islam yang ditakuti dan disematkan gelar tersebut, seperti KH. Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi Islam Muhammadiyah tahun 1912, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926, KH. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905, dan HOS Tjokroaminoto mendirikan Syarikat Islam tahun 1912.
Berdirinya organisasi itu dirasa mengkhawatirkan oleh pihak Belanda, karena para tokoh yang pulang menunaikan ibadah haji dianggap suci dan paling bisa didengar oleh rakyat awam Hindia-Belanda. Dulu para kyai tidak memiliki gelar haji karena haji merupakan ibadah. Namun karena banyak perlawanan yang dilakukan oleh umat Islam terhadap kolonial terutama tokoh yang pulang melaksanakan ibadah haji.
Sebab itulah yang membuat pemerintah kolonial menyematkan gelar haji untuk penanda sebagai pemberontak, hal itu diatur dalam peraturan pemerintah Belanda atau Staatsblad pada tahun 1903.
Para jamaah haji yang pulang dari Tanah Suci Makkah pada zaman kolonial harus menjalani karantina terlebih dahulu selama 3 bulan untuk menetralisir paham-paham radikalisme. Jika ada yang berontak pada saat itu maka tak segan-segan kolonial langsung membunuh para jamaah. (den)