Mataram (Inside Lombok) – Harga tiket pesawat yang melambung tinggi baik untuk jarak dekat maupun jarak jauh membuat pergeseran penggunaan jasa transportasi lain. Penumpang saat ini lebih memilih menggunakan moda transportasi lain seperti kapal laut dan kapal cepat.
Pengamat ekonomi Universitas Mataram (UNRAM), Dr. Firmansyah menilai harga tiket pesawat saat ini memang cenderung sulit ditekan. Selain karena harga avtur sebagai bahan bakar pesawat juga naik, persaingan harga besar-besaran di pasar persaingan sempurna pebisnis penerbangan turut stagnan. Dampaknya, penerbangan jarak dekat saja ikut mahal. Seperti penerbangan Lombok– Bima yang biasanya hanya Rp300 ribu kini bisa mencapai Rp1 juta.
“Harapannya, ya memang ada perubahan perilaku dari pengguna jasa transportasi. Sehingga pengguna dari transportasi udara ini bisa teralihkan ke transportasi lain. Contoh yang paling bagus menurut saya adalah kapal cepat, cuma rutenya harus diperluas,” jelas Firmansyah, Jumat (8/7).
Jika rute kapal cepat diperluas, tentu akan banyak masyarakat beralih menggunakan moda transportasi itu. Apalagi Lombok memiliki pelabuhan yang melayani rute Lombok–Bali menggunakan kapal cepat. Karena menyeberang menggunakan kapal cepat hanya 40 menit.
“Dengan fasilitas yang bagus saya kira ada subtitusi lain dari mahalnya tiket pesawat. Tapi kalau untuk persaingannya enggak bisa kita urai antara kapal dengan pesawat,” terangnya.
Diakuinya memang mau tidak mau masyarakat akan mendapatkan harga yang relatif tidak stabil jika menggunakan pesawat. Berbanding terbalik jika menggunakan kapal laut. Saat ini penerbangan menjadi salah satu penyumbang inflasi terbesar, yang juga berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Pasalnya, posisi inflasi secara tahunan dari Januari-Juni 2022 sebesar 4 persen. Sedangkan dilihat dari Juni 2021 – Juni 2022 itu sebesar 5 persen. “Dulu kita punya pola-pola (intervensi, Red). Misalnya subsidi di penerbangan sehingga tiket itu relatif murah. Tapi dengan kondisi sekarang saya kurang yakin, terjadi rekofusi, terus ada pembayaran hutang pemerintah daerah,” paparnya.
Firmansyah menilai, saat ini perlu dilakukan pemerintah yang yang paling masuk akal untuk menstabilkan perekonomian. Yakni memberi semacam perlindungan kepada masyarakat terdampak inflasi, terutama pada masyarakat di bawah. Kemudian kebijakan-kebijakan yang mengarah semakin tertekannya inflasi itu harus dihindari.
“Mohon maaf saja sekarang ada wacana untuk subsidi BBM ditarik itu juga kan menjadi akumulasi yang menyebabkan inflasi melambung. Sudah di aspek penerbangan dia tinggi terus ditekan lagi di sisi lain ada cost push inflation,” terangnya.
Jadi inflasi ini perlu diurai dengan cara mencari ruang-ruang atau memfasilitasi masyarakat supaya tidak terjadi inflasi yang tinggi.
Sebelumnya, Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Perwakilan Kantor BI NTB, Heru Saptaji mengatakan sangat berdampak pada inflasi NTB sehingga mencapai 5,04 persen (yony). Jadi tarif angkutan udara itu sudah menjadi konsen pihaknya bagaimana. Apalagi NTB sebagai salah satu daerah tujuan kunjungan wisatawan tentunya jika diamati dalam beberapa waktu terakhir ini, pesawat penuh terus dibandingkan pada posisi lebaran kemarin tidak setinggi sekarang harganya.
“Tarif angkutan udara konsen ini saya sudah sampaikan untuk menjadi masukan ketika kita rapat koordinasi dengan Bank Indonesia di Jakarta dengan kantor pusat, untuk menjadi pembahasan di lingkup nasional karena kebijakannya ada di kebijakan di lingkup nasional,” ujarnya. (dpi)