Mataram (Inside Lombok) – Pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim menjadi target pembangunan di NTB ke depannya. Bahkan pada 2050 NTB menargetkan net zero emission atau nol emisi karbon. Untuk itu, Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI) NTB bersama Yayasan Relief Islami Indonesia dengan dukungan ForumCiv-Islamic Relief Swedia melalui Proyek DECCAP (Deepening Climate Change Adaptation for Prosperity) menggelar seri pelatihan guna memperkuat forum mitigasi/adaptasi perubahan iklim lintas sektor pemerintah dalam advokasi yang efektif untuk perencanaan dan pelaksanaan di NTB.
Eko Krismantono selaku program manager DECCAP mengatakan kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas Kelompok Kerja (Pokja) Adaptasi Perubahan Iklim NTB, khususnya untuk rencana mentransformasikan Rencana Aksi Daerah (RAD) Adaptasi Perubahan Iklim menuju RAD Pembangunan Rendah Karbon dan ketahanan iklim di provinsi NTB. “dengan harapan dapat diimplementasikan di provinsi NTB untuk mendukung pembangunan dan meminimalkan kerugian ekonomi dan sosial yang ditimbulkan akibat dampak perubahan iklim,” ujarnya.
Perwakilan Yayasan Relief Islami Indonesia, Muhammad Jawad menerangkan advokasi pemerintahan dan pembentukan kelompok kerja (pokja) untuk isu perubahan iklim di NTB telah digarap beberapa waktu belakangan. Hal ini menyesuaikan kebijakan pusat untuk mentransformasikan perubahan iklim ke pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim.
“Kita mengharapkan ada perubahan signifikan di NTB (untuk persiapan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim), supaya ada tindak lanjut kebijakan dari pusat terkait itu,” ujarnya, Kamis (28/7). Hal ini disebut sejalan dengan visi-misi Pemprov NTB saat ini, khususnya untuk net zero emission pada 2050 mendatang.
Kasubbid Perencanaan Wilayah dan Pengembangan Infrastruktur (PWPI) Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (BAPPEDA) NTB, Lalu Adi Gunawan menerangkan saat ini RAD GRK dan API NTB memang belum dievaluasi. Padahal banyak kegiatan dan program yang mengarah ke pembangunan rendah karbon serta adaptasi perubahan iklim yang disiapkan pemerintah daerah.
“Faktanya, perubahan iklim terasa di ntb. Banjir dan anomali cuaca sudah ada di depan (kita) semua, dengan dampak yang bertambah terus daya rusaknya. Pola-pola ini yang memberikan indikasi adanya keterlibatan manusia, jadi kita juga menyebabkan peristiwa itu,” ujarnya. Potensi perubahan iklim sendiri dapat berdampak secara sektoral, ekonomi, sosial dan biodiversity.
Kendati, dalam visi Pemprov NTB saat ini untuk mewujudkan NTB Gemilang telah memuat upaya pelestarian lingkungan, kesehatan dan pendidikan yang cemerlang. Konteks mewujudkan itu adalah menjadikan NTB Asri dan Lestari sebagai misi keempat.
“Program strategis NTB bersih dan berkelanjutan, semuanya menggunakan energi. Ukuran itu yang perlu dirumuskan agar semua program strategis mengarah ke pembangunan rendah karbon; mulai dari NTB Zero Waste, NTB Green and Renewable Energy, dan NTB Net Zero Emission,” ujarnya.
Namun beberapa program itu masih menemukan kendala. Antara lain untuk program NTB Zero Waste masih ada beberapa masalah yang dihadapi. Antara lain Belum optimalnya penanganan sampah karena jumlah sarana angkutan sampah di Kabupaten/Kota masih minim (17 persen dari kebutuhan). Tersedia TPS3R, namun sebagian besar tidak aktif; Data primer persampahan sangat terbatas sehingga menyulitkan dalam menyusun rencana dan kebijakan; Kabupaten/Kota masih fokus pada penanganan sampah; Skema pengurangan sampah berbasis desa, sedangkan saat ini Pemdes masih fokus BTT untuk stimulus ekonomi; Kesulitan dalam pemasaran produk-produk hasil recycling; dan Masih minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah (khususnya 3R).
Kemudian untuk program NTB Green and Renewable Energy atau NTB Hijau masalah yang dihadapi adalah Target 2020 belum tercapai dikarenakan adanya Rasionalisasi Anggaran Covid-19; Target 2021, sec anggaran tercakup 23,92 persen; ADD desa mendukung NTB HIJAU tahun 2021 belum ada kepastian jumlah bibit yg diadakan dikarenakan JUKNIS dari KEMENKEU belum terbit; dan koordinasi pemegang IPPKH belum optimal, terutama pemegang IPPKH Pemda Kabupaten.
Sedangkan untuk mewujudkan NTB bebas emisi beberapa strategi bisa digunakan. Antara lain transisi bahan bakar dengan meningkatkan kewaspadaan dari urgensi beralih dari bahan bakar fosil di dalam sistem energi; optimalisasi efisiensi energi dengan mengoptimalkan penerapan efisiensi energi yang mengarah pada sistem dekarbonasi energi; serta menyiapkan mitigasi perubahan iklim dengan meningkatkan kewaspadaan dari urgensi peralihan bahan bakar.
Menambahkan, Prof Surya Hadi dari FMIPA UNRAM menambahkan realisasi pembangunan rendah karbon di NTB butuh keseriusan pemerintah. Khususnya untuk mengurangi bahan bakar. “Transportasi massa tidak digarap. Arah kebijakan kita kurang pas. Isunya adalah bagaimana mereduksi bahan bakar datang ke sini. Sumbangan paling besar gas rumah kaca ada di pemakaian bahan bakar,” jelasnya.
Upaya ini penting, terutama melihat dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini. mulai dari peningkatan suhu 0,45-0,75 derajat celcius, perubahan curah hujan ± 2,5 mm per hari, kenaikan muka laut 0,8-1,2 cm per tahun, hingga gelombang ekstrem meningkat >1,5 m.
Untuk itu, pembangunan rendah karbon perlu menjadi perhatian, sebagai pola baru pembangunan politik dan ekonomi yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, memanfaatkan energi rendah karbon dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. (r)