Mataram (Inside Lombok) – Perubahan iklim belakangan ini menjadi perhatian serius, termasuk untuk ketahanan masyarakat dalam menghadapi dampaknya. Untuk itu, Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI) NTB bersama Yayasan Relief Islami Indonesia melalui Proyek DECCAP (Deepening Climate Change Adaptation for Prosperity) menggelar training of trainer (TOT) bagi beberapa kelompok merujuk pada standar modul SLI (Sekolah Lapangan Iklim) yang dikembangkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.
Digelar di Hotel Lombok Raya pada 26-28 Oktober, pelatihan tersebut dihadiri oleh calon fasilitator dari beberapa OPD dan OMS dari Kabupaten Lombok Timur serta perwakilan OMS, Pemdes, dan perwakilan komunitas dari Bima/Dompu yang bekerja sama dengan KONSEPSI – YRII melalui project ini.
Eko Krismantono selaku program manager DECCAP menerangkan dipilihnya beberapa perwakilan kelompok melingkupi nelayan, petambak garam dan nelayan lobster dari Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur sebagai percontohan melihat kompleksitas masyarakatnya, sehingga ke depan bisa menjadi rujukan wilayah lain di NTB secara umum.
“Paling tidak teman-teman yang sudah ditraining melalui kegiatan ini dalam proses SLI-nya bisa meneruskan hasil pelatihan ini kepada komunitas sasaran di tiga lokasi. Di Desa Pandan Wangi untuk petani tadah hujan, petambak garam di Desa Pemongkong, dan budidaya lobster di Desa Paremas. Sehingga aplikasi pelatihan ini bisa meluas di masyarakat,” ujar Eko, Rabu (26/10) di Mataram.
Perwakilan Yayasan Relief Islami Indonesia, Muhammad Jawad menerangkan sebagai pilot project, program pelatihan kali ini memang hanya menyasar tiga kelompok masyarakat yang masing-masing berisi 30 orang petani, petambak garam dan nelayan. “Padahal jumlahnya lebih dari itu. Karena itu, harapan kami ke depan hal ini bisa direplikasi ke tempat yang lain. Apakah melalui project yang kami lakukan atau secara mandiri di masyarakat, semisal dia datang untuk belajar ke desa dampingan kami,” jelasnya.
Koordinator Bidang Data dan Informasi BMKG Lobar, Restu Patria Magantara menerangkan pengembangan modul SLI yang dikolaborasikan bersama KONSEPSI NTB telah berlangsung sejak 2018. Melalui pelatihan yang diberikan, masyarakat diharapkan memiliki kesadaran tentang perubahan iklim dan bisa mempersiapkan diri menghadapi dampaknya.
Dicontohkan Restu, salah satu materi yang akan diterima peserta pelatihan adalah pengukuran suhu air laut secara mandiri yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kelompok nelayan dan petambak garam. Selain itu, perubahan iklim yang belakangan membuat NTB mengalami kemarau basah hingga musim hujan terasa lebih panjang bisa dipantau secara berkala melalui aplikasi yang disediakan BMKG.
Pemantauan perubahan iklim tersebut sangat dibutuhkan petani, terutama untuk menyesuaikan jenis tanaman yang digarap agar tidak merugi dan lebih produktif. “Besar harapan kami program ini bisa terus dilanjutkan, dan (para peserta pelatihan) bisa menularkan ke warga lainnya, sehingga risiko perubahan iklim ini bisa dikurangi,” ujarnya.
Kasubbid Perencanaan Wilayah dan Pengembangan Infrastruktur (PWPI) Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (BAPPEDA) NTB, Lalu Adi Gunawan menerangkan saat ini mewujudkan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi Pemprov NTB. Untuk itu pihaknya saat ini mendorong institusionalisasi dokumen yang mendukung rencana tersebut.
Ia pun mendorong agar penggembangan modul SLI bagi masyarakat seperti yang dilakukan KONSEPSI NTB dengan Yayasan Relief Islami Indonesia dapat terus direplikasi di daerah lainnya di NTB, tidak terbatas di Kecamatan Jerowaru saja. “Dari sisi institusi, tata kelola teman-teman di Lombok Timur mungkin lebih siap dibanding kabupaten lain, dan ini bisa direplikasi di kabupaten/kota lainnya. Terkait SLI, ada baiknya juga melihat yang sudah dilaksanakan seberapa efektif (diterapkan) di masyarakat,” ujarnya. (r)