Lombok Utara (Inside Lombok) – Zikrul Mustakim tidak pernah menyangka usaha kecilnya berdagang gas isi ulang akan membuatnya dijerat UU Migas dengan ancaman 6 tahun penjara seperti yang diatur dalam Undang-Undang Omnibus Law.
Zik, sapaan akrabnya, baru berusia 27 tahun dan menjalani hidup pas-pasan bersama keluarganya. Sejak 2010 ia pindah dari Banyumulek, Lombok Barat ke Senaru, Lombok Utara bersama orang tua dan tiga saudaranya, mengikuti jejak kakek dan neneknya yang sudah lebih dulu bertransmigrasi.
Orang tua Zik pun membuka usaha kios untuk menghidupi keluarga mereka. Pemuda itu pun sempat melanjutkan pendidikan di salah satu kampus swasta di Kota Mataram. Namun terpaksa berhenti di semester ketiga lantaran kurangnya biaya.
Untuk membantu orang tuanya membayar cicilan bank setiap bulannya, pada 2017 Zik memberanikan diri membuka usaha kecil-kecilan sewa alat camping seperti tenda, matras, jaket dan lain-lain di rumahnya. Kemudian pada Mei 2020 ia mendapatkan ide usaha baru setelah mendapat informasi di internet bahwa tabung gas subsidi 3 kilogram bisa dipakai mengisi ulang (refill) ke tabung gas portabel menjadi sekitar 9 tabung.
Ia yang mengetahui banyak sampah tabung gas portabel di seputaran Gunung Rinjani pun mulai berbisnis gas isi ulang yang dijual Rp10 ribu per tabung. Untuk tabung kosong sendiri dibelinya seharga Rp2 ribu dari para porter yang memungut sampah tabung kosong itu di Gunung Rinjani.
Usaha ini selain memanfaatkan sampah tabung gas, juga sebagai upaya mengurangi pendaki membawa sampah tabung gas baru ke Gunung Rinjani. Sayang, bagai petir di siang bolong petaka datang bagi Zik pada 22 Agustus 2022 lalu, di mana 5 orang petugas dari Polres Lombok Utara mendatanginya dan melakukan pemanggilan dengan menunjukkan sebuah surat yang salinannya bahkan tidak diberikan pada Zik.
“Katanya surat tugas. Namun tidak menyerahkan salinan ke Zik atau keluarganya, membawa Zik ke Polres bersama barang bukti sekitar tabung gas 3 kilogram 13 biji dan tabung gas portabel 80 biji. Zik diperiksa dari sore sampe malam sampai menginap di polres,” ungkap Pengacara Publik Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) UIN Mataram, Yan Mangandar Putra, Selasa (29/11).
Esok harinya, pada 23 Agustus 2022 Zik kembali diperiksa hingga siang tanpa didampingi pengacara. Selama proses di kepolisian Zik tidak ditahan melainkan wajib lapor Senin dan Kamis. Kemudian Zik sama sekali tidak pernah diberikan salinan dokumen apapun. Setiap Zik menanyakan kejelasan kasus yang dihadapinya ke Penyidik selalu dijawab “ikuti saja proses hukumnya”.
“6 November 2022 Zik di-WA oleh polisi, diberitahu besok diajak ke kantor Jaksa dan diminta Zik membawa pakaian ganti. 7 November 2022 di Kantor Kejaksaan Negeri Mataram Zik dijelaskan dirinya tersangka dan akan ditahan,” lanjut Yan.
Pada 28 November 2022 Tim Pengacara Publik PKBH UIN Mataram, Yan Mangandar Putra, Rusdin Mardatillah dan Heri mendatangi Zik di Lapas Kuripan. Dari berkas penahanan yang dibuat Jaksa diketahui Zik disangka melakukan tindakan pidana melanggar Pasal 55 UU No. 11/2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang ancaman pidananya penjara 6 tahun dan denda Rp60 miliar.
“Kami Tim PH menilai Kepolisian Resor Lombok Utara dan Kejaksaan Negeri Mataram terlalu berlebihan dan mengabaikan hak-hak Zik sebagai tersangka selama memproses kasus ini dengan menerapkan UU Omnibus Law,” ujarnya Yan.
Dikatakan, sepatutnya masyarakat kecil dan hidup jauh dari perkotaan, tentunya hal seperti ini tidak sepenuhnya diketahui melanggar hukum. Di mana dapat dilakukan dengan pendekatan persuasif seperti peringatan dan solusi lain untuk alternatif pekerjaannya.
“Karena banyak juga warga lain lakukan hal yang sama, bahkan di internet banyak yang jual online refill tabung gas portabel. Baiknya diberikan sosialisasi atau peringatan lebih dulu,” katanya.
Kemudian Yan membandingkan dengan kasus dugaan penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU Meninting, Lombok Barat. Di mana dalam kasus yang bermula dari inisiatif warga menggerebek truk yang mengambil 1,8 ton Solar subsidi diduga dipakai untuk industri itu, belum jelas ujung penanganan kasusnya.
“Kan ini kuat dugaan aparat hukum (lagi) melukai hati rakyat dengan menerapkan hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas atau kesalahan rakyat kecil seperti semut di seberang pulau, sangat nampak. Namun kesalahan maling besar seperti gajah depan mata tak tampak,” pungkasnya. (dpi)