Mataram (Inside Lombok) – Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nusa Tenggara Barat mendorong pemerintah daerah menerbitkan legalitas tim pengontrol kualitas rumah tahan gempa (RTG) yang dibangun untuk korban gempa bumi di daerah tersebut.
Ketua LPJK NTB, Siti Nurul Hijjah, di Mataram, Rabu, mengaku khawatir akan banyak lagi temuan-temuan RTG di bawah standar dan kualitas karena lemahnya kontrol dari aparat yang diberikan kewenangan.
“Beberapa RTG yang dibangun ada yang kualitasnya di bawah standar. Bahkan penerima bantuan membongkar kembali rangka RTG yang telah dibangun oleh aplikator karena khawatir bangunan tersebut roboh,” katanya.
Pada 16 April 2019, kata dia, dilakukan pertemuan koordinasi dengan seluruh pihak terkait di Pemerintah Provinsi NTB. Pertemuan tersebut merekomendasikan ada 14 jenis RTG yang dapat dibangun oleh aplikator diawasi oleh penanggung jawab sekaligus sebagai tim pengontrol kualitas bangunan.
Belasan jenis RTG tersebut adalah rumah instan sehat sederhana (Risa), rumah instan konvensional (Riko), rumah instan kayu (Rika). Pengawasan dan penanggungjawab pembangunannya dilakukan oleh STIP Banyumulek. Selain itu, RCI diawasi langsung oleh aplikatornya.
Jenis RTG lainnya adalah rumah instan baja (Risba), di mana penanggungjawabnya adalah Gapensi, Gapeksindo, REI dan Kadin. Sementara RTG jenis Risbari penanggungjawabnya PT CPS, RTG jenis Domus oleh PT Tata Logam, Kumak oleh PT Kumak, Rista oleh PT Soliwu, Rita oleh PT Al Anshar, dan Risga oleh Universitas Mataram.
Sayangnya, kata Siti, kesepakatan tersebut hanya lisan. Seharusnya Pemerintah Provinsi NTB menerbitkan rekomendasi tertulis terkait masing-masing kewenangan penanggungjawab. Sehingga masing-masing RTG jelas siapa yang mengawasi dan jelas yang mempertanggungjawabkannya jika terjadi sesuatu dan lain hal.
“Selama ini belum ada pengawasan yang bagus. Pengawasan diserahkan ke fasilitator yang tidak memiliki keahlian teknis,” ujarnya.
Dosen Fakultas Teknik, Universitas Al-Azhar Mataram itu juga mengkhawatirkan oknum aplikator nakal akan memanfaatkan celah dengan memainkan kualitas RTG yang dibangunnya. Sebab tidak adanya pengawas yang memiliki legalitas.
“Jangan sampai, ada oknum aplikator yang bekerja semau-maunya di lapangan. Ada ratusan aplikator yang bekerja, siapa yang mengawasi mereka,” ucapnya pula. (Ant)