Mataram (Inside Lombok) – Pemerintah akan segera memberlakukan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota persyaratan kapal. Dalam aturan itu, untuk dapat mengikuti PIT nelayan harus memiliki dokumen dan perizinan kapal yang lengkap dan sah, menggunakan alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan, tidak mengecilkan ukuran (markdown), bukan pelaku IUU fishing, dan memenuhi standar keamanan dan keselamatan.
Sayangnya kebijakan tersebut dianggap membebani nelayan, terutama yang skala kecil. Karena nelayan dengan kapal di bawah 30 gross ton (GT) jika menangkap ikan dengan jarak laut di atas 12 mil, maka izinnya akan diambil oleh pusat.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) NTB, Muslim menyebutkan rencana kebijakan baru dari pemerintah pusat tersebut masih dalam pembahasan. Meski aturan itu diakui akan cukup rumit bagi nelayan-nelayan kecil.
“Seharusnya, yang dilakukan oleh pemerintah sekarang adalah di tengah situasi pandemi begini, harga BBM naik, berikanlah instrumen regulasi yang membuat nelayan itu lebih mudah mengakses usaha penangkapannya,” ungkap Muslim, Kamis (1/12).
Sementara hal ini yang akan dikoordinasikan oleh pemerintah pusat terkait kebijakan baru tersebut, melalui PPN teluk Awang di Lombok Tengah. Menurut Muslim, seharusnya bagaimana mendorong nelayan bisa mandiri di tengah situasi pandemi Covid-19, BBM naik tanpa dibebankan hal-hal yang terlalu banyak mereka pikirkan.
“Harusnya negara hadir itu kan berikanlah kemudahan, bukan malah dijejali dengan aturan turut membebani mereka. Mau nangkap nelayan beli BBM, belum tentu dia dapat ikan,” katanya.
Sedangkan jika ingin mendapatkan ikan tuna, cakalang dan ikan besar nelayan harus menangkap dengan jarak laut di atas 12 mil. Artinya mau tidak mau mereka harus dibebankan urus izin di pusat melalui UPT yang ada di sini.
“Kalau diterapkan maka nelayan kedepannya akan membeli sebuah alat yang semacam chip dipasang di perahu mereka. Ketika dia berlayar kemana terdeteksi oleh radar Kementerian Kelautan. Alat itu harganya mahal, nelayan mana mau beli,” bebernya.
Muslim mengatakan idealnya dalam Undang-Undang 23/2014 tentang pemerintahan daerah dan UU nomor 7/2016 tentang perlindungan nelayan kecil, untuk kapal yang ukuran 0-5 GT izinnya di kabupaten, kemudian kapal 5-30 GT di provinsi, sedang kapal di atas 30 GT di pusat untuk izin penangkapan ikan.
“Tetapi ini ada dampak dari UU ciptakerja, basis mereka adalah basis teritorial. Karena mereka tangkap di wilayah pusat maka pusat maunya nelayan menangkap di situ harus izin pusat,” jelasnya.
Aturan tersebut merupakan aturan turunan dari PP 27 Tahun 2021 yang merupakan amanat UU Nomor 11 Tahun 2020 alias UU Cipta Kerja. Lewat aturan tersebut, kapal besar dengan ukuran di atas 30 GT hanya boleh menangkap ikan dengan jarak laut di atas 12 mil dari garis pantai.
Untuk diketahui informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan menerbitkan Surat Edaran Nomor: B.586/SJ/PI.410/XI/2022 tanggal 3 November 2022 tentang Pendaftaran dan Perizinan Kapal Penangkap Ikan dan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia.
Program pendaftaran dan perizinan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari persiapan pelaksanaan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota dengan tujuan untuk memastikan jumlah kapal perikanan saat ini yang menjadi syarat kapal existing dapat masuk ke dalam penangkapan ikan terukur, membenahi data kapal perikanan nasional, mencegah dan memberantas IUU fishing.
Di mana tindak lanjut dari SE tersebut untuk gerai pendaftaran dan perizinan outputnya yakni, data kapal perikanan yang valid dan lengkap untuk didaftarkan dalam penangkapan ikan terukur. Kedua migrasi kapal perikanan izin daerah yang menangkap di atas 12 mil menjadi izin pusat. Kemudian aktivasi perizinan berusaha bagi kapal perikanan yang tidak memiliki atau sudah kadaluarsa izin usahanya atau akan segera berakhir di tahun 2022. (dpi)