Lombok Barat (Inside Lombok) – Warga RT 02 Dusun Keru, Desa Keru, Kecamatan Narmada menuntut agar SPPBE yang baru beroperasi kurang lebih sebulan terakhir di dusun mereka untuk ditutup. Warga merasa khawatir karena posisi SPPBE tersebut dinilai terlalu dekat dengan pemukiman hingga menyebabkan masyarakat terganggu dengan polusi suara dan aroma dari proses pengisian LPG di SPPBE tersebut.
Diketahui, proses pengajuan izin dari pendirian SPPBE milik PT. Harapan Jaya Utama tersebut telah berlangsung sejak tahun 2017 silam. Namun, mulai beroperasi dari 7 November 2022 kemarin. Zohrawati, selaku perwakilan warga yang protes menyebut banyak kejanggalan yang terjadi dalam proses pembangunan hingga operasi SPPBE tersebut.
“Kita berjuang ini bukan dalam rangka mencari uang, kita ini masyarakat seluruhnya di sini menolak. Karena ini bahaya besar,” ketusnya saat ditemui di salah satu rumah warga yang dekat dengan SPPBE, Rabu (14/12/2022).
Karena dia menyebut masyarakat yang lokasi rumahnya dekat tersebut merasa khawatir terkait kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi, walaupun proses operasi SPPBE tersebut menggunakan tenaga ahli. Belum lagi terkait polusi suara dan udara.
“Yang buat kita menolak itu ada rasa takut, kalau ini meledak, besar jangkauannya saya pikir. Karena ini besarnya sampai 50 ribu kilogram (Kg). Sedangkan LPG yang 3 Kg saja bisa menghancurkan tembok, apalagi ini,” ujarnya.
Pihaknya pun membantah jika pihak desa dan SPPBE mengklaim bahwa sebelumnya masyarakat menyatakan setuju dan telah menandatangani surat pernyataan setuju untuk pembangunan SPPBE tersebut.
“Kalau nanti ada yang bilang masyarakat setuju, itu bukan. Itu masalah gorong-gorong (yang disetujui warga) yang ditandatangani 20 orang itu, bukan SPPBE ini,” tegasnya. Dalam proses penandatanganan itu, Zohrawati mengklaim bahwa masyarakat diminta tanda tangan surat pernyataan yang tak berjudul. “Karena yang mereka tandatangani itu sebagian besar tidak berjudul. Ada beberapa yang berjudul tapi tidak mengenai SPPBE,” bebernya.
Tidak hanya itu, pihaknya menyebut pihak SPPBE serta pihak terkait lainnya telah melakukan pemalsuan data agar proses perizinan pembangunan SPPBE tersebut dapat tetap berjalan. “Menurut aturan yang saya tahu, tidak ada yang membolehkan operasional SPPBE sedekat ini di pemukiman padat penduduk. Aturan mana yang dipakai?” herannya.
Mereka yang menuntut agar SPPBE tersebut ditutup itu pun menolak untuk diberi kompensasi. “Ndak ada yang mau terima kompensasi, maunya ini ditutup,” tegas dia.
Sehingga pihaknya telah bersurat ke banyak pihak, hingga pihak-pihak terkait tersebut turun untuk meninjau langsung SPPBE tersebut. Yang disebutnya, waktu itu operasi SPPBE tersebut sempat tertahan kurang lebih selama 10 bulan. Sampai akhirnya beroperasi di bulan November kemarin.
Sementara itu, Kepala Operasional SPPBE PT. Harapan Jaya Utama, I Putu Eka Paryantana menyebut bahwa yang saat ini menentang pihaknya untuk beroperasi hanya segelintir masyarakat. “Sebenarnya ini kan hanya beberapa masyarakat yang protes, dari awal itu sebenarnya masalah tali asih (antara perusahaan dengan masyarakat) sudah diselesaikan,” paparnya.
Terlebih, kata dia, 90 persen karyawan di SPPBE tersebut merupakan masyarakat setempat yang diakomodir untuk bekerja di sana. “Semuanya memang orang sini (warga setempat), dan persoalan izin itu kita sudah lengkap,” tandasnya.
Terkait izin, pihaknya mengklaim sudah tidak ada masalah dan tidak ada yang dilanggar. Karena hal itu diawasi langsung oleh pihak pertamina pusat. “Itu kan kita ngitungnya (radius aman) seharusnya dari itu kan tempat isi ulangnya, bukan temboknya,” tutup dia. (yud)