26.5 C
Mataram
Senin, 25 November 2024
BerandaBerita UtamaTekan Angka Kemiskinan, Industrialisasi Sektor Pertanian Perlu Digenjot

Tekan Angka Kemiskinan, Industrialisasi Sektor Pertanian Perlu Digenjot

Mataram (Inside Lombok) – Angka kemiskinan NTB September 2022 tercatat mengalami kenaikan 0,14 persen atau 12,8 ribu orang. Penyumbang kemiskinan terbesar masih dari

komoditi makanan, yakni beras. Kondisi ini tidak ada perubahan dari tahun ke tahun. Artinya masyarakat miskin masih banyak dari sektor pertanian.

Anggota DPRD NTB, H Mori Hanafi mengatakan pihaknya telah mengusulkan agar dapat menekan kemiskinan di sektor pertanian, yakni dengan industrialisasi. Apalagi NTB kerap kali berbicara terkait dengan industrialisasi untuk menggerakkan ekonomi.

“Saya sudah usulkan pemerintah, saya tidak tahu kenapa kita selalu bicara teknologi modern, terobosan dan lainnya. Misalnya industrialisasi motor listrik, ada hal yang lebih sederhana sangat dibutuhkan oleh petani, yaitu bagaimana beras mereka digiling sedemikian rupa untuk bisa memenuhi syarat agar bisa masuk hotel,” ujar H Mori Hanafi, Selasa (24/1).

Menurutnya, penduduk NTB yang bergantung pada sektor pertanian ada 45 persen. Di mana jika petani itu sejahtera maka otomatis tingkat pengurangan angka kemiskinan di NTB akan turun drastis, dan begitu juga sebaliknya. Terlebih pendapatan petani tidak pasti, tidak seperti di segmen dan industri jasa keuangan maupun yang lainnya cenderung pasti.

“Pertanian ini memang ketidakpastiannya tinggi, misalnya petani bawang saat harga tinggi maka mereka pendapatannya jauh di atas rata-rata semua penduduknya di NTB. Tetapi begitu pendapatan anjlok bisa ruginya ratusan juta dan semua barangnya bisa dijual pada saat itu juga,” jelasnya.

Begitu juga yang ada di produk pertanian yaitu beras. Kalau produksinya tengah bagus, harganya bagus, kemudian serapan di pasar bagus maka mereka survivenya juga bagus. Namun juga kondisi produksi tidak bagus, harga tidak bagus dan serapan pasar tidak bagus maka itu akan celaka.

Perlu diingatkan petani beras ini tidak sedikit yang panen atau produksinya cuma sekali dalam setahun. Ada juga yang 2 sampai 3 kali tetapi hasil produksinya tidak banyak. “Makanya itu kami dari dulu meminta pemerintah tidak terpaku pada urusan harga naik turun saja. Tetapi memberikan kepastian harga,” tuturnya.

Diakui, naiknya angka kemiskinan dari sektor pertanian telah menjadi fenomena yang biasa di Indonesia. Mengingat petani adalah salah satu kelompok rentan dari segi ekonomi. Hal ini sulit dihindari, kecuali pemerintah pusat atau provinsi benar-benar menegaskan harga komoditas ketika panen tiba.

“Tapi ini tidak ada (kepastian harga, Red). Kita mengikuti harga pasar. Ketika panen besar harga turun, ketika ini langka harga naik,” ujarnya.

Menurut Mori, ketahanan ekonomi bagi petani di NTB sendiri masih tidak ada. Sehingga kemiskinan masih menjadi momok yang menghantui. Termasuk ketika panen tiba, para petani harus cepat menjual hasil panen mereka agar bisa menutupi pembayaran bibit hingga pupuk yang dihabiskan pada musim tanam.

Lain halnya dengan tengkulak yang memiliki ketahanan jauh lebih kuat daripada petani. Karena mereka akan mengeluarkan barang ketika ada permintaan.

“Tengkulak atau bandar ini, dia dapat tahan ini barang (beras, Red) sebulan dua tidak masalah. Saya tidak heran mengatakan apabila petani kemudian dianggap penyumbang kemiskinan. Karena cara penanganan kita yang begini begini saja, tidak pernah berubah,” tandasnya. (dpi)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer