Lombok Barat (Inside Lombok) – NTB punya banyak makanan khas dengan beragam keunikan, cerita dan sejarah. Beberapa di antara makanan khas itu bahkan hampir terlupakan. Untuk itu digelar Festival Gastronomi Sasambo untuk pertama kalinya di NTB, guna memunculkan kembali berbagai makanan khas itu ke permukaan.
Ketua Pelaksana Festival Gastronomi Sasambo sekaligus Dosen STP Mataram, Ajuar Abdullah menyebut bahwa NTB tidak hanya memiliki destinasi wisata yang indah untuk dikunjungi. Melainkan juga kaya akan sajian kuliner yang penuh dengan cerita dan sejarah.
Terkait digelarnya Festival Gastronomi Sasambo sendiri, ditujukan untuk menyasar pemahaman lebih mendalam terkait seluk-beluk makanan khas yang ada di NTB agar terjaga eksistensinya.
“Sebenarnya gastronomi itu sama dengan kuliner dalam konteks objeknya. Hanya saja gastronomi itu dia sudah bicara soal sumber pangannya, teknologi pengolahannya, bagaimana cara mengolah, trus kemasannya, dan dari makanan itu bagaimana hubungannya dalam konteks ritual, tradisi, sejarah, masyarakat tertentu, jadi lebih ke suku,” terang Ajuar saat ditemui di Festival Gastronomi Sasambo di Desa Kebon Ayu, Gerung, Lombok Barat (Lobar).
Dicontohkan Ajuar, seperti halnya ayam rangket yang merupakan kuliner khas Kebon Jeruk yang biasanya akan disajikan dalam ritual pernikahan. Sehingga makanan tersebut berhubungan erat dengan kebudayaan dan masyarakat suku.
Selain makanan khas,festival ini juga diakuinya mencoba menghadirkan kembali sosok Ran untuk mengatraksikan fungsinya dalam ritual-ritual adat seperti begawe pada suku Sasak. “Karena Ran ini dia chef lokal, juru masak yang lahir dan berhubungan dengan sejarah Sasak. Jadi mereka sudah ada dalam kurun waktu yang cukup lama dan itu berhubungan dengan kebudayaan suku Sasak,” terangnya.
“Jadi kami menghadirkan mereka (Ran) untuk mengatraksikan makanan-makanan khas Sasak apa saja yang disajikan dalam atraksi Ran itu, misalnya ares,” imbuh Ajuar.
Dalam festival itu, sebanyak enam kuliner khas Sasak yang dihadirkan, kemudian empat makanan khas Sumbawa, serta empat makanan suku Bima lengkap dengan atraksi dan proses pembuatannya, serta cerita sejarahnya.
“Jadi kami memilih makanan-makanan suku yang ada yang sudah mau punah, ada yang masih ada tapi kurang diminati oleh generasi saat ini. Dan itu tidak masuk dalam ranah industri,” ungkap Ajuar.
Melalui festival tersebut, pihaknya ingin menunjukkan kepada masyarakat, pemerintah, serta pihak industri bahwa sebenarnya NTB merupakan daerah yang kaya dalam konteks kuliner. “Tinggal bagaimana ini dikemas dan dijaga, sehingga bisa berkelanjutan di masa depan,” pesannya. (yud)