26.5 C
Mataram
Minggu, 24 November 2024
BerandaBerita UtamaHitam-Putih Pinjaman Rentenir: Cerita Mereka yang Terjerat Hutang

Hitam-Putih Pinjaman Rentenir: Cerita Mereka yang Terjerat Hutang

Mataram (Inside Lombok) – Terik matahari begitu menyengat di Desa S, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat. Tak banyak aktivitas warga. Suasana desa terasa begitu sepi, meski segala yang sepi itu bukannya tidak wajar: banyak warga desa yang memutuskan merantau bahkan hingga ke luar negeri, menghindari hutang yang menjerat di desa kelahiran mereka. Sisanya, beberapa ibu rumah tangga, yang tua dan yang muda duduk di teras rumah mereka, menunggu hari berlalu.

Setiap harinya para ibu-ibu di Desa S seolah menunggu dua hal: pekerjaan apa saja yang mungkin mendatangi mereka, dan para penagih hutang yang juga bisa datang kapan saja. Salmah, janda berusia 50 tahun adalah salah satu warga Desa S yang begitu mengenal pola keseharian tersebut.

Setelah suaminya meninggal belasan tahun lalu, ia kini hidup bersama kedua anaknya yang belum menikah. Salmah dan kedua anaknya sama-sama tidak memiliki pekerjaan tetap.

Raut wajah Salmah terlihat begitu pasrah saat menceritakan dirinya sedang tidak memiliki pekerjaan. Di hari yang terik itu, ia merinci pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukannya untuk mendapat penghasilan. Mulai dari menjadi buruh tani di sawah-sawah milik orang lain di sekitaran Lombok Barat dan Kota Mataram, menjadi buruh di pabrik tembakau, hingga menjadi buruh pengupas bawang dan pembersih cabai kering.

Sayangnya, beberapa pekan belakangan tidak ada sawah yang siap digarap, tidak ada tembakau yang siap diolah, dan tidak ada bawang atau cabai yang datang dibawa para pedagang di pasar untuk dikupas.

Salmah memiliki tiga orang anak. Anak pertamanya, perempuan, telah menikah dan tinggal bersama suaminya. Anak keduanya, laki-laki, tetap tinggal dengan Salmah dan sedang tidak bekerja. Anak terakhirnya, perempuan, telah menikah dan memiliki dua orang anak yang dititipkan pada Salmah lantaran harus bekerja di Timur Tengah.

Kondisi itu membuat Salmah telah begitu akrab dengan sumber keuangan lain, yaitu meminjam sejumlah uang di koperasi yang akan menagihnya setiap hari. “Supaya ada kita pakai untuk membiayai anak-anak ini. Karena banyak sekali. Lima (orang) saya biayai.” ujar Salmah.

“Kalau tidak berhutang tidak ada pemasukan. Saya memang buruh tani, tapi kalau sedang tidak musim ya tidak ada pekerjaan,” lirih Salmah.

Warga Desa S menunjukkan bukti setoran koperasi harian. (Inside Lombok/Bayu)

Hutang yang diambilnya pun bukan untuk kebutuhan produktif, melainkan konsumtif semata. Alasan itu juga yang membuat Salmah lebih memilih berhutang di koperasi yang akan menagihnya setiap hari, lantaran besaran hutang yang diambilnya tidak pernah melebihi Rp1 juta.

“Sekarang sudah 4 tahun saya berhutang di koperasi yang disetor setiap hari. Ada empat koperasi tempat saya berhutang. Satu koperasi itu setoran Rp10 ribu, terus ada yang Rp15 ribu, ada yang Rp5 ribu dan Rp6 ribu,” ujarnya.

Meski setoran hariannya terdengar kecil, yaitu Rp36 ribu per hari, nominal itu tetap terasa besar bagi Salmah. Tak jarang, ia harus menunggak setoran dan bertahan dari tagihan yang datang dari sekian koperasi tempatnya meminjam.

Di luar hutang koperasi harian, Salmah juga memutuskan mengambil pinjaman PT. Permodalan Nasional Madani (PNM) Mekaar dengan setoran Rp100 ribu per minggu. Meski memberatkannya setiap hari, kehidupan dengan jeratan hutang tersebut diakuinya lebih bisa ditahannya ketimbang terlibat hutang besar di perbankan.

“Kalau di bank resmi nanti ada jaminan, jadi saya tidak berani. Makanya saya berhutang di koperasi, karena hanya pakai KTP (sudah bisa cari). Kalau di bank resmi harus ada jaminan, harus dalam jumlah banyak juga yang kita ambil,” ungkap Salmah.

Diakuinya, di satu koperasi dirinya hanya membutuhkan pinjaman Rp250-300 ribu. Jumlah itu akan disetornya sekitar 18 hari. Menurutnya, hutang yang menjeratnya sekarang masih lebih baik dibanding tetangga-tetangganya yang lain.

Beberapa tetangganya ada yang melarikan diri bekerja ke luar negeri setelah terjerat hutang di koperasi dan perbankan dengan menggadaikan rumah, menyisakan keluarga yang memutar otak untuk melunasi hutang itu. Selain itu, ada juga yang terjerat hutang dengan jumlah besar hingga setiap hari harus main kucing-kucingan dengan para penagih.

Meski memiliki potensi terjerumus di kehidupan dengan jeratan hutang menumpuk seperti tetangga-tetangganya itu, Salmah mengaku akan tetap memilih berhutang di koperasi ketimbang di perbankan.

“Kalau di koperasi yang sekarang ini, kalau ada ya saya setor, kalau tidak ada ya tidak dipaksa. Sementara kalau bank yang resmi itu harus kita setor. Kalau tidak setor, kita dipaksa. Kalau tidak setornya dalam jangka panjang, waktu tertentu, jaminan kita yang disita,” ujar Salmah.

Tidak jauh berbeda dengan Salmah, warga Desa S lainnya, Mar (bukan nama sebenarnya), mengaku memiliki banyak kebutuhan mendesak hingga akhirnya memutuskan berhutang di koperasi harian. Meski belum menikah, perempuan 45 tahun itu mengaku butuh uang lantaran sampai sekarang belum memiliki pekerjaan.

“Pekerjaan belum ada. Kadang-kadang ada, lebih sering tidak ada,” ujarnya. Selama ini ia melakoni hidup yang tidak jauh berbeda dengan Salmah, tetangganya itu. Bekerja sebagai buruh tani jika ada sawah yang perlu digarap, atau sebagai buruh pembersih bawang dan cabai kering jika ada yang datang membawa dari pasar.

Jika bekerja pun, upah maksimal yang diterimanya adalah Rp50 ribu. “Itu kalau ada kerjaan. Kalau tidak ada, ya tidak ada. Lebih banyak tidak ada pekerjaan,” jelasnya pasrah.

Mar pun mengaku baru mulai berhutang setahun belakangan. Pertama di beberapa koperasi, kemudian juga mengambil pinjaman di PNM Mekaar. “Koperasi mungkin kita ngambil ada 3. Itu yang setoran tiap hari Rp20-25 ribu, ada yang Rp15 ribu, beda-beda. Ada juga yang Rp100 ribu per minggu,” paparnya.

Aktivitas rutin masyarakat di Desa S saat menunggu penagih hutang mendatangi mereka. (Inside Lombok/Bayu)

Menurut Mar, pengajuan pinjaman koperasi yang hanya membutuhkan KTP memudahkan orang-orang seperti dirinya yang membutuhkan dana cepat untuk memenuhi kebutuhan. Meski kemudian harus bergelut dengan hutang setiap hari, kemudahan itu baginya bisa menutupi segala kerepotan yang mungkin terjadi padanya, seperti tetangga-tetangganya yang telah habis-habisan terjerat hutang.

“Cepat cair, karena kan kita bayar setiap hari. 18-20 hari bayar, selesai bayar, bisa cair lagi. Syaratnya itu KPT saja. Kalau di bank kan kita diminta KK, KTP dan lain-lain,” ungkapnya.

Sama seperti Salmah, Mar juga mengaku takut mengambil pinjaman di perbankan resmi. Yang membuatnya takut adalah setoran bulanan yang dirasanya akan besar dan tidak boleh menunggak.

“Kalau bank itu kan harus setiap bulan. Misalnya kita ambil BRI, terus ada jaminan, terus harus itu ada uang bayaran setiap bulannya. Tidak boleh nunggak,” ujarnya.

Namun, apakah pinjaman di perbankan semenakutkan itu?

Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) NTB, Baiq Mulianah menyebut pihaknya sejak 2020 lalu mengembangkan program pengentasan rentenir di NTB dengan mengedepankan basis ekonomi syariah. Terlebih NTB telah menganut sistem ekonomi syariah sejak beberapa tahun belakangan.

Program yang diberi nama Melawan Rentenir Berbasis Masjid (Mawar Emas) yang diusung Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB itu menyediakan pinjaman tanpa bunga atau agunan. Terutama bagi masyarakat yang berniat menggeluti usaha ultra mikro, sehingga pemanfaatan pinjaman tersebut bisa untuk hal lebih produktif.

Meski begitu, pengajuan Mawar Emas diakui masih membutuhkan pemenuhan persyaratan administratif oleh peminjam. Kendati, MES membantu membangun komunikasi dengan pihak perbankan untuk mempermudah beberapa hal terkait administrasi dan bunga pinjaman.

“Mawar Emas memang menawarkan solusi itu. Mulai dari pendampingan kemudian kita juga meminta pihak perbankan juga yang datang langsung ke nasabah,” jelas Mulianah. Sikap proaktif diakuinya perlu datang dari perbankan, untuk bisa mendukung program Mawar Emas berjalan maksimal.

Saat ini, plafon pinjaman dengan kisaran Rp1-2 juta yang disediakan Mawar Emas diakui masih sangat kecil untuk bisa bersaing dengan koperasi harian atau pihak lainnya yang menyediakan akses modal bagi masyarakat. “Sedangkan bank subuh ataupun bank lainnya yang berkedok macam-macam itu, mereka mendatangi langsung peminjamannya untuk bayar iuran. Sehingga lebih banyak masyarakat memilih ke rentenir atau bank subuh (dibanding ke perbankan),” lanjut Mulianah.

Menurutnya, rendahnya literasi soal ekonomi syariah yang dianut NTB saat ini menjadi masalah lainnya praktik rentenir masih lebih dipilih masyarakat umum. Alasan itu juga yang membuat pihaknya mengarahkan program Mawar Emas pada pengembangan awalnya ini menyasar masyarakat yang memiliki usaha ultra mikro. Sehingga mereka bisa menjadi contoh produktif bagi masyarakat lainnya yang memiliki kebutuhan serupa.

“Tahap awal pembentukan Mawar Emas itu karena usaha ultra mikro yang dibiayai dengan akad qardhul hasan (akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterima pada waktu yang telah disepakati baik secara sekaligus maupun cicilan). Karena ini bukan hibah ataupun CSR, modal itu akan kembali, tetapi kalau menggunakan akad yang lain mindset orang akan menyamakan syariah dengan konvensional. Saya tidak mau seperti itu, maka tahap literasi itu dia harus memahami dulu syariah,” jelas Mulianah.

Rendahnya literasi keuangan syariah seperti yang disebut Mulianah nyata bisa dilihat pada warga di Desa S yang masih lebih memilih terjerat hutang dengan bunga tinggi di koperasi atau pihak lainnya yang datang setiap hari menagih mereka. Mar (dan warga lain di Desa S), misalnya, masih berharap pemerintah memberi program penyaluran bantuan untuk meringankan beban hutang mereka.

“Harapannya kalau ada solusi, kalau ada program dari pemerintah ingin dapat, tapi tidak ada dari desa. Kalau nanti ada uang lebih pasti berhenti berhutang, ngambil koperasi dan Bank Mekaar,” tandas Mar. (r)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer