28.5 C
Mataram
Senin, 25 November 2024
BerandaBerita UtamaTidak Ada Restorative Justice bagi Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Tidak Ada Restorative Justice bagi Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Mataram (Inside Lombok) – Maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak yang belakangan ini terjadi menjadi atensi berbagai pihak. Terutama terkait penangannya. Salah satu yang menjadi sorotan, adalah masih minimnya pemahaman bahwa kasus kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur tidak boleh diselesaikan dengan model restorative justice (RJ).

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram, Joko Jumadi menyoroti kasus kekerasan atau pelecehan seksual kerap kali berujung RJ, yaitu antara pelaku dengan korban dipertemukan untuk berdamai lantaran korban maupun keluarga yang enggan diketahui orang. Padahal dalam kasus kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak tidak dapat dilakukan dengan RJ, dan proses hukum harus tetap berlanjut.

“Kalau ada RJ di Mataram, saya akan lawan. Kasus-kasus kekerasan seksual tidak boleh RJ. Ini yang perlu mendapat perhatian di teman-teman penyidik, kasus kekerasan seksual anak tidak mengenal RJ,” tegas Joko kepada Inside Lombok, Senin (20/2).

Lain halnya dengan kekerasan maupun pelecehan seksual yang mungkin terjadi pada orang dewasa, diakui memang ada mekanisme RJ. Hal itu diatur dalam pasal 5 dan pasal 6A UU TPKS, di mana jika kekerasan seksual non fisik terjadi, boleh dilakukan RJ karena masuk delik aduan. Sedangkan pasal 6A terkait pelecehan seksual secara fisik yang tidak masuk di dalam pasal-pasal yang lain.

“Itu juga bisa di RJ, tapi umpamanya kalau dia diperkosa sampai hamil korbannya, tidak bisa RJ,” jelas Joko. Diterangkan, RJ atau suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri tidak akan diberikan kepada pelaku pencabulan terhadap anak dibawah umur. Angka kasusnya di NTB saja mengalami peningkatan pada 2022.

Belum lama ini ditemukan beberapa kasus yang menjadi korban dan pelakunya dari lingkup sekolah. “Itulah kenapa di lingkungan pendidikan ada relaksasi kuasa, sekolah belum tentu juga berpihak kepada anak. Makanya perlu satgas pencegahan kekerasan seksual,” imbuhnya.

Lebih lanjut, sehingga mengantisipasi terjadinya kondisi dimana kemudian seorang anak tidak bisa melaporkan. Artinya dengan ada satgas tersebut maka anak-anak yang menjadi korban dapat melaporkan.

“Ini yang penting sebenarnya dalam penanganan, perlindungan terhadap anak-anak ini yang penting,” katanya. Kendati demikian, rata-rata kasus yang ditangani oleh LPA Mataram berujung hingga proses hukum dan tidak ada RJ. Terutama pada kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur.

“Cuma tantangan sering kali, kalau kita bicara secara normatif sudah tuntas. Cuma namanya kekerasan seksual impact dampak terjadi nanti ketika dia sudah remaja,” jelasnya.

Sementara itu, fenomenanya sekarang kemana mereka (korban) harus lapor. Kalau untuk di kota Mataram, khususnya LPA kota Mataram melalui hotline di nomer 081775133 / 0370633716. Dimana banyak yang kekerasan seksual atau yang korban mengalami kekerasan seksual melaporkan kesana.

“Banyak sering curhat disana, ada juga dia (korban) yang hanya ingin dipanggil pelakunya tapi tidak proses hukum supaya berhenti melakukan itu lagi (kekerasan atau pelecehan seksual, red),” pungkasnya. (dpi)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer