Mataram (Inside Lombok) – Oh…Kopral Jono, gadis mana yang tak kenal akan dikau. Oh… Kopral Jono, gadis mana yang tak rindu akan dikau. Gayamu yang perkasa mirip gaya panglima, Ramah tamah-mu membikin gila hati wanita.
Bait demi bait tembang “Kopral Jono” dimainkan dengan sempurna hingga melengkapi cerahnya langit di atas Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat pada pada Sabtu (20/7) malam, berkat permainan apik dari grup musik keroncong yang seluruhnya diawaki kawula muda, “Mataram Kroncong Community” atau akrab dipanggil MAKRO-C dalam penampilan perdananya di Taman Budaya NTB.
Sekaligus memupus stereotip bahwa generasi milenial saat ini telah melupakan musik keroncong yang dianggap “jadul”. Meski ketiadaan suling dan bas betot digantikan oleh bas gitar, tidak mengurangi nuansa musik keroncong. Pasalnya masih ada alat musik utama ukulele, cak dan gitar.
Terlebih lagi, awak dari MAKRO-C ini berlatar belakang tidak semuanya musik keroncong. Namun terhitung dalam waktu singkat sejak terbentuk pada 7 April 2019, mereka sudah berani pentas dengan memainkan sejumlah lagu, yakni, Kembang Mawar lagu berbahasa Suku Sasak, Teluk Saleh (Samawa), Pasapu Monca (Bima), Poto Tano, Kangen (Dewa19), serta Save the Last Dance For Me.
Personel MAKRO-C, Syarif Hidayat (Keyboard), Kaisar Agung (bass), Airlangga (perkusi), Yusril (ukulele), Abdil (gitar), Galang (tenor/cak), serta Waisal (vokal 1) dan Puri (vokal 2). Sejumlah personel itu di antaranya memiliki sederet prestasi di bidang seni musik.
Seperti pemain bass Kaisar Agung merupakan juara I penyanyi tunggal dalam Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) jenjang SMA tingkat Provinsi NTB dan Yusril pemain ukulele merupakan juara I gitar tunggal tingkat SMA se-NTB.
Sedangkan vokalisnya Puri penyandang juara pertama Lomba menyanyi keroncong Sasambo se-NTB hingga memberikan warna tersendiri dalam pentas perdananya tersebut.
“Kami semakin tertantang untuk berpenampilan lebih baik lagi setelah penampilan perdana ini sekaligus untuk membumikan musik keroncong yang merupakan salah satu aset tanah air ini,” kata Syarif Hidayap selaku ketua kelompok musik MAKRO-C.
Ia menjelaskan MAKRO-C sendiri adalah sekelompok anak muda yang masih memiliki rasa peduli terhadap pelestarian dan pengembangan musik tradisi di Bumi Pertiwi.
Salah satu pendiri MAKRO-C Erwin S Quintyasmoro menyebutkan pendirian MAKRO-C diprakarsai oleh dirinya bersama empat rekannya yang sudah malang melintang di musik keroncong di Kota Mataram, yakni, Nur Fikri, Tonie Moersajid, Hj Fitriati Hamdan dan Anandita Paramita.
“Sebagai kelompok musik keroncong yang baru saja dibentuk, kami sadar bahwa musik yang diekspresikan itu belum pekat warnanya atau masih belum kental,” katanya.
Ia mengibaratkan seperti kopi, ada saja yang menyukai kopi pahit, kopi manis, kopi kental dan kopi encer. “Tetapi semuanya tetap saja disebut kopi,” tegasnya.
Jadi, kata dia, meski warna dan “rasa” keroncong mereka masih belum kental, MAKRO-C tetap yakin dan percaya diri bahwa masih ada saja pihak-pihak yang menyukai “kopi encer” ala MAKRO-C.
Semoga dari penampilan mereka itu, bisa mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak, katanya.
Sementara itu, pemusik keroncong dari Kota Mataram yang sudah malang melintang di tingkat nasional, Tonie Moersajid tidak mempermasalahkan ketiadaan bas betot yang digantikan dengan bass gitar dan suling pada grup MAKRO-C itu.
“Tidak apa-apa mereka bereksperimen, dan mereka tetap menggunakan ukulele, cak/tenor serta gitar,” katanya.
Ia mengibatkan seperti aliran seni lukis seperti ada realis dan sejumlah aliran lainnya. Namun itu tidak jadi masalah untuk memilihnya. Untuk seni bebas-bebas saja.
Dirinya tetap mengacungi jempol kepada anak-anak muda yang masih mau masuk dalam “perangkap” bermain musik keroncong karena kebanyakan menilai musik keroncong sudah ketinggalan zaman atau dianggap sulit untuk memainkannya.
“Ternyata masih ada sekelompok anak muda yang tertarik bermain musik keroncong. Saya bangga,” katanya.
Melalui penampilan perdana MAKRO-C itu, akan membangkitkan kembali dunia musik keroncong di Kota Mataram yang sudah lama tertidur lelap.
Sembari menikmati kopi panas dan kacang rebus, alunan musik keroncong membelah langit Kota Mataram, sekaligus menunjukkan “bahwa kami masih ada di sini”. (Ant)