Lombok Timur (Inside Lombok) – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lombok Timur menolak Daftar Pemilih Sementara (DPS) dari hasil Sidang Pleno Terbuka oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lombok Timur pada Rabu (05/04). Pasalnya, hasil rekap dinilai tak sesuai dengan apa yang ada di lapangan. Bahkan Bawaslu sampai meninggalkan ruang sidang pleno akibat kekecewaannya.
Ketua Bawaslu Lombok Timur, Retno Senopati mengatakan hasil pleno DPS oleh KPU tak sesuai dengan hasil rekapitulasi dari Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) dengan data yang ada di KPU. Hal itu membuat pihaknya memilih keluar ruangan dan menolak hasil DPS yang akan ditetapkan KPU.
“Data yang di-coklit oleh pantarlih sudah diplenokan oleh PPS dan ada berita acaranya, tapi itu dilakukan penolakan oleh PPK, dan anehnya ketika sampai di KPU kok tidak ada penolakan padahal data itu tidak sesuai rekapitulasi,” ucapnya saat ditemui awak media di lokasi pleno, Rabu (05/03).
Berdasarkan hasil rekapitulasi, data dari PPK jumlah DPS Lombok Timur disebut Retno mencapai 999.900. Namun jumlah tersebut nyatanya jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh KPU Lotim. Bahkan perbedaan bukan hanya pada data dengan Bawaslu, tapi juga data pleno berbeda dengan yang ada pada PPK.
“Data hanya boleh dilakukan oleh KPU pada saat pleno terbuka dan bukan dilakukan secara sepihak pribadi lembaga, seharusnya PPK lah yang dipersilahkan mempresentasikan hasil rekapitulasinya yang kemudian ditetapkan oleh KPU,” tegasnya.
Retno menilai ada data siluman yang dilihatnya karena data yang menjadi dasar pleno terbuka terdapat perbedaan tanda tangan dan stempel basahnya. Merasa data tersebut tidak sesuai, maka dari itu Bawaslu menolak DPS yang ditetapkan KPU dan memilih untuk keluar ruangan.
“Kami meminta pleno ulang dalam jangka waktu 2×24 jam, di mana pleno dimulai dari tingkat PPK hingga ke KPI. Jika tidak maka itu masuk dalam ranah pelanggaran dan bisa dipidana,” terangnya.
Pelanggaran yang dimaksudkan Retno yakni administrasi etik dan pidana dan terancam hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp36 juta rupiah.
Sementara itu, menanggapi sikap Bawaslu, Ketua KPU Lombok Timur, Junaidi membantah adanya perbedaan data bahkan ia mengaku jika data yang dibawa dalam pleno berdasarkan hasil rekapitulasi PPK. Bahkan sebelum data PPK ditetapkan menjadi DPS terlebih dahulu dilakukan pencermatan melalui aplikasi Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih).
“Benar memang jumlah dari Bawaslu itu 999.900 tapi itu data yang ada pada Daftar Pemilih Hasil Pemutakhiran (DPHP) yang belum dilakukan pencermatan dari aplikasi Sidalih sehingga belum bisa dikatakan valid,” ungkapnya.
Junaidi mengungkapkan data DPHP yang telah dilakukan proses pencermatan melalui Sidalih sebanyak 997.544 sehingga itu yang menjadi dasar acuan untuk ditetapkan menjadi DPS. Berdasarkan PKPU RI No 27 Tahun 2023 tentang tata cara pemutakhiran data Pemilih, DPS itu tidak bisa ditetapkan berdasarkan DPHP, tetapi harus disinkronkan melalui aplikasi Sidalih.
“Melalui aplikasi Sidalih itu yang menyaring persoalan NIK ganda dan anomali data sehingga nantinya DPS benar-benar valid,” cetusnya.
Menyikapi ketidak setujuan Bawaslu terkait dana dan meminta pleno ulang dalam waktu 2×24 jam, Junaidi mengaku bahwa itu tidak menjadi masalah karena hasil pleno bisa akan ditetapkan tanpa ada persetujuan Bawaslu. Hal itu berdasarkan PKPU No 8 tahun 2019 tentang tata kerja, pleno KPU dianggap sah apabila dihadiri tiga orang dari lima anggota KPU.
“Walaupun tanpa persetujuan Bawaslu DPS hasil pleno terbuka tetap sah kok,” pungkasnya. (den)