31.5 C
Mataram
Senin, 25 November 2024
BerandaBerita UtamaKorban Ketidakjelasan Aturan, Pedagang di Sempadan Pantai di Batulayar Divonis Bersalah Soal...

Korban Ketidakjelasan Aturan, Pedagang di Sempadan Pantai di Batulayar Divonis Bersalah Soal Penyerobotan Tanah

Lombok Barat (Inside Lombok) – Tujuh orang pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di lokasi muara Pantai Duduk Batulayar divonis bersalah oleh pengadilan, atas dakwaan tindak penggeregahan atau penyerobotan atas tanah yang bukan haknya. Putusan itu pun disayangkan warga, lantaran lokasi berjualan sebelumnya adalah muara pantai yang bukan menjadi milik pribadi, melainkan dikelola pihak desa.

Kasus tersebut bermula saat salah seorang masyarakat kemudian membawa sertifikat atas lahan yang menjadi lokasi para PKL berjualan di Pantai Duduk. Dari tujuh orang PKL yang diperkarakan, salah satunya adalah ibu hamil. Para pedagang pun menuntut keadilan atas kasus itu, lantaran merasa menjadi korban situasi dan ketidakjelasan aturan.

Ahdat, salah seorang warga menuturkan bahwa saat ini warga diadukan ke APH karena dianggap melakukan tindakan penggergahan atas lahan yang mereka tempati untuk berjualan. Bahkan diakui sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan mereka bersalah atas penggunaan lahan tersebut.

“Kami dituduh menggeregah,” ujar Ahdat saat dikonfirmasi, Senin (01/05/2023). Padahal dirinya membangun lapak semi permanen yang digunakan berjualan di sana sejak 2019, pasca-gempa yang terjadi tahun sebelumnya.

Saat itu pihak desa melalui anggaran dana desa pun telah mengalokasikan pembuatan lapak, penimbunan, pembuatan talud dan jalan masuk. Namun semenjak pandemi alokasi anggaran itu dihentikan.

Para pedagang sendiri diakui Ahdat tetap membayarkan pajak, lantaran menganggap lahan tersebut adalah milik pemerintah daerah. Namun tak disangka, para pedagang malah dipanggil Polda NTB atas laporan dugaan penggergahan. “Kami diminta bongkar lapak, tapi kami tidak mau,” tegas dia.

Bahkan dia menyebut, warga sempat ditawari semacam kompensasi sebesar Rp3 juta per lapak, tapi dengan tegas warga menolak. Karena mereka menilai lokasi lapak mereka berada di sempadan pantai dan bukan lahan milik pribadi. “Kami bayar pajak dan retribusi sebesar 10 persen ke Bapenda,” ungkap Ahdat.

Pihak desa sendiri mendukung para pedagang tersebut untuk bisa memperoleh keadilan. Namun tidak bisa berbuat lebih lantaran sudah ada putusan pengadilan. Sahwan, salah seorang aktivis di wilayah Batulayar menuturkan beberapa titik sempadan pantai diduga disertifikatkan oknum, salah satunya di kawasan Batu Bolong,Desa Batulayar Barat.

“Tanah muara di pantai Batu Bolong sudah dibuatkan sertifikat oleh oknum,” beber Sahwan. Di mana lahan itu, kata dia, dulu dibeli oknum saat masih dalam bentuk muara sekitar tahun 2004 silam.

Kemudian lahan itu diuruk oleh pemerintah desa (pemdes) setempat, karena lahan itu masih dalam bentuk muara. Sehingga atas izin pemdes, lahan itu kemudian dimanfaatkan untuk berjualan oleh warga. Namun pemdes saat itu tidak mengetahui jika lahan itu sudah bersertifikat.

“Desa tidak tahu kalau lahan itu bersertifikat, karena dalam bentuk muara,” tuturnya. Kemudian sekitar tahun 2018 lalu, di lokasi itu dibangun proyek lapak oleh Disperindag Lobar.

Belakangan, lahan itu digugat oleh oknum yang membeli dan ingin mengambil alih lahan tersebut. Namun masih dipertahankan oleh lembaga swadaya masyarakat dan warga. Kasus ini pun kini tengah ditangani oleh Polda NTB, hingga salah seorang oknum pejabat di Lobar juga turut dilaporkan, di tengah banyaknya pertanyaan yang muncul terkait mengapa lahan sempadan pantai bisa disertifikatkan. (yud)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer