29.5 C
Mataram
Minggu, 24 November 2024
BerandaLombok BaratTerancam Dipenjara dalam Kondisi Hamil 5 Bulan, PKL yang Didakwa Kasus Penggeregahan...

Terancam Dipenjara dalam Kondisi Hamil 5 Bulan, PKL yang Didakwa Kasus Penggeregahan Lahan di Batulayar Berharap Dibebaskan

Lombok Barat (Inside Lombok) – Tujuh orang pedagang kaki lima (PKL) yang sebelumnya berjualan di lokasi muara Pantai Duduk Batulayar divonis bersalah atas penggeregahan atau penyerobotan atas tanah yang bukan haknya. Salah satu dari pedagang itu adalah Siti Zubaedah, seorang ibu tiga anak yang saat ini tengah hamil lima bulan.

Siti bersama enam PKL lainnya rencananya akan ditahan pada 13 Mei mendatang. Hal itu sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Mataram nomor 5/Pid.C/2023/PN Mtr tanggal 16 Maret 2023.

Atas putusan pengadilan tersebut, Siti yang didampingi suami dan enam rekannya yang sama-sama berjualan di lahan itu pun mendatangi kantor BPKAD Lobar, Senin (08/05) lalu, untuk meminta bantuan. Terutama agar Pemda Lobar dapat membantu mereka menelusuri permasalahan lahan yang menyeret para pedagang hingga ke meja hijau tersebut.

Jika mengikuti putusan pengadilan, Siti Zubaedah terpaksa harus meninggalkan suami serta tiga buah hatinya yang masih kecil dan duduk di bangku sekolah dasar. Siti yang mendatangi kantor BPKAD Lobar terlihat tak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya. Ia berharap agar Pemda Lobar bisa membantu membebaskannya dari dakwaan yang akan menyeretnya ke penjara. “Harapan saya ingin dibebaskan,” lirihnya seraya mata berkaca-kaca.

Siti menuturkan betapa sedihnya ia saat mengetahui dirinya divonis bersalah dan akan dipenjara. Terlebih di tengah kondisinya yang saat ini tengah hamil lima bulan, sementara pikirannya juga dipenuhi nasib ketiga anaknya jika dirinya harus ditahan. “Perasaan saya sedih, karena tiga anak saya masih sekolah,” ujarnya gemetar.

Diakui Siti, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ia dan keluarga hanya bisa bergantung dari hasil berjualan di lapak yang lahannya kini tengah disengketakan tersebut. Padahal, dia mengaku sudah berjualan di lokasi itu kurang lebih sudah 9 tahun lamanya. Di mana penghasilan yang diperolehnya dari berjualan itu hanya berkisar Rp50-150 per hari, tergantung ramai tidaknya wisatawan yang berkunjung.

Sementara sang suami berprofesi sebagai petani. Sehingga mereka berdua berupaya untuk bisa saling melengkapi kekurangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. “Bagaimana caranya itu harus kami cukupkan,” imbuh dia.

Ironisnya lagi, keluarga Siti yang tergolong tak mampu itu ternyata tidak memperoleh bantuan dari pemerintah. Baik itu PKH, maupun bantuan lainnya. Ia sendiri heran mengapa keluarganya tidak masuk sebagai penerima bantuan pemerintah. “Mungkin belum rezeki,” lirihnya.

Lebih jauh, Siti menyebut bahwa dirinya termasuk yang pertama berjualan di lokasi lahan yang saat ini bermasalah tersebut. “Saya jualan di sana sejak tahun 2014,” bebernya.

Padahal, kata dia, saat dirinya dan keenam rekannya mulai masuk berjualan di sana, sejauh yang mereka ketahui bahwa lahan itu tidak berpenghuni dan tidak ada pemiliknya. Bahkan selama berjualan di sana, tidak ada pihak yang datang mengklaim atau mengakui lahan itu sebagai miliknya.

Belakangan, muncul permasalahan hukum atas lahan tersebut, setelah datang pihak yang mengaku memiliki sertifikat atas lahan yang menjadi lokasi para PKL berjualan. Ironisnya, Siti dan para pedagang lainnya justru mengira lahan tersebut milik pemerintah daerah, sehingga mereka pun rutin membayarkan pajak. Para pedagang pun tak pernah diajak bermusyawarah terlebih dahulu saat masalah lahan tersebut mencuat, hingga mereka dilaporkan ke pihak kepolisian dan berakhir dengan putusan bersalah di pengadilan. (yud)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer