Mataram (Inside Lombok) – Jelang pemilihan umum (pemilu) 2024 mendatang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai merancang peraturan terutama untuk pungut hitung suara. Pasalnya, pada tahapan ini banyak persoalan yang timbul. Karena itu, pada pemilu tahun depan penghitungan suara diusulkan menggunakan dua panel.
Komisioner KPU Provinsi NTB, Yan Marli mengatakan selama ini pada tahapan penghitungan suara masih menggunakan sistem lama, yaitu satu panel. Pada tahapan ini memakan waktu yang cukup lama dan berdampak pada kesehatan para petugas dan kerawanan yang lainnya.
“Lima surat suara ini akan memakan waktu yang cukup lama dari semua lembaga perwakilan yang ada, dari hitung surat suara DPR, baru itu ke presiden, terus ke DPD. Ini membutuhkan waktu yang lama,” katanya, Senin (27/6) sore.
Ia mengatakan, pada pemilu 2024 mendatang sistem satu panel diupayakan untuk tidak diterapkan lagi. Tujuannya, agar anggota KPPS yang ada bisa lebih efektif dengan menggunakan dua panel saat perhitungan suara. “Ada panel A dan panel B untuk melakukan penghitungan pada waktu yang bersamaan. Ini akan mengefektifkan waktu dan efisienkan tenaga,” katanya.
Salah satu yang menjadi perhatian menggunakan dua panel ini adalah kebisingan. Pasalnya, masing-masing petugas nantinya akan menghitung secara bersamaan. Sehingga kebisingan yang terjadi berpotensi kekeliruan dalam perhitungan. “Nanti kita tidak perlu menggunakan pengeras suara. Kita pakai saja suara yang normal. Strateginya pakai suara laki-laki dan suara perempuan,” katanya.
Penggunaan strategi dua panel ini sambung Yan kemungkinan besar akan diterapkan pada pemilu tahun depan. Pasalnya, melihat jumlah surat suara yang akan dihitung dan batas waktu proses perhitungan yang cukup terbatas. “Sepertinya akan mengarah ke sana. Kita akan kuat mengarah dua panel karena bukan hanya penyelenggara kami yang mendapatkan dampak positifnya tapi para saksi juga,” ujarnya.
Kasus yang terjadi jika menerapkan satu panel yaitu saksi kerap meninggalkan TPS jika sudah merasa lelah, hingga akhirnya petugas KPPS kesulitan untuk memberikan salinan hasil perhitungan suara. “Sering saksi itu kalau sudah lelah ya ditinggalkan saja. Karena meninggalkan TPS sudah lelah,” tegasnya.
Jika tidak ada perubahan sistem dalam proses perhitungan suara ini, maka persoalan-persoalan tahun 2019 lalu akan terulang kembali. (azm)