Mataram (Inside Lombok) – Kebakaran yang terjadi di Gunung Rinjani menghanguskan sedikitnya 205 hektare lahan di taman nasional tersebut. Akibatnya, banyak pohon dan vegetasi lainnya yang hilang. Jika berhitung, berapakah kerugian dari peristiwa kebakaran itu?
Akademisi dari Universitas Mataram (Unram), Dr. Hairil Anwar menerangkan jika melihat data kerugian yang dialami Indonesia akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) secara nasional, pada 2019 ada 672 ribu hektare lahan hutan yang terbakar. Berdasarkan hasil kajian Bank Dunia, nilai kerugian karhutla itu mencapai Rp75 triliun.
“Saat dalam satu pohon bisa menghasilkan oksigen 1,2 kilogram, kebutuhan oksigen manusia, per orang adalah 0,5 kg. Artinya ketika satu pohon hilang akibat kebakaran, itu sudah merugikan dua orang manusia. Kalau bicara harga karbon, 1 ton per hektare itu 5-8 dolar. Bisa dikonversi nilainya itu pada kerugian ekonomi kita,” ungkap Hairil, Kamis (10/8).
Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan jenis pohon tertentu seperti pohon kempas, untuk satu pohon saja yang berdiameter di atas 30 centimeter (cm) dapat menghasilkan satu kubik, yang nilai pasarnya Rp8 jutaan per kubik. “Kita bisa mengakibatkan kerugian ekonomi Rp8 jutaan dari satu pohon yang terbakar, jika satu pohon kempas tersebut menghasilkan 1 kubik,” terangnya.
Karena itu, kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dalam satu hektar cukup besar. Apalagi jika hutan tersebut berada di kawasan pariwisata, seperti yang terjadi di Gunung Rinjani. Kemudian ditambah lagi dampak secara ekologi, kebakaran hutan juga sudah pasti akan mengakibatkan semakin kritisnya sumber-sumber air.
“Gunung Rinjani adalah sumber mata air kita, otomatis karena kebakaran airnya ikut hilang. Bisa dihitung, berapa liter air yang hilang setiap hari dan berapa harga per liternya,” tuturnya.
Diakuinya, kebakaran yang terjadi saat ini memang dampak dari kondisi cuaca. Apalagi sekarang ada fenomena El Nino, yang memungkinkan munculnya titik api di beberapa wilayah, tidak terkecuali di NTB. “Ini akan menyebabkan ekonomi masyarakat akan menurun. Apalagi jika masyarakatnya sangat tergantung terhadap hutan itu sendiri,” jelasnya. (dpi)