Mataram (Inside Lombok) – Kasus dugaan korupsi pengadaan alat penunjang belajar mengajar (APBM) di Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Mataram. Dua orang tersangka pun telah ditetapkan, antara lain mantan Direktur Poltekkes Mataram inisial AD dan mantan Ketua Jurusan (Kajur) Keperawatan Poltekkes Mataram inisial ZF.
Berkas perkara kasus itu pun dinyatakan telah lengkap alias P21 dan dilimpahkan ke Kejaksaan. Kendati, AD yang dalam kasus itu berperan sebagai KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) pengadaan alat APBM di Poltekkes Mataram membantah telah menerima uang dari proyek tersebut.
Melalui kuasa hukumnya, AD menyebut pengadaan ABBM pada tahun anggaran 2016 itu sudah sesuai prosedur. “Klien kami tidak pernah sama sekali terima apa pun dari pelaksanaan proyek ini,” ujar penasihat hukum AD, Maulana Syekh Yusuf.
Menurutnya, apa yang diusulkan ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait pengadaan ABBM itu tidak menyalahi aturan yang ada. Mengingat AD sebagai Direktur Poltekkes Mataram saat itu membawahi jabatan kepala jurusan (kajur) yang menjadi penerima manfaat dari pengadaan ABBM.
“Tidak ada yang disetujui secara sepihak oleh Direktur (AD, Red), karena waktu penyerahan unit tidak ada yang keberatan pada waktu itu, dalam hal serah terima ini setiap kajur menerima barang yang datang,” jelasnya.
Kendati, pihaknya menghormati proses penyidikan yang sudah dilakukan Polda NTB serta proses hukum yang tengah berjalan. “Kita harus tetap menjunjung tinggi presumption of innocence atau asas praduga tidak bersalah. Kami akan berjuang membuktikan kalau klien kami tidak bersalah,” ungkap Yusuf.
Dalam kasus itu, pihaknya mempertanyakan perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB yang menyimpulkan kerugian negara dalam proyek tersebut sebesar Rp3,2 miliar. “Ini patut dipertanyakan. Kok bisa muncul nilai sebesar itu?” tanyanya.
Menurutnya temuan tersebut bertolak belakang dengan hasil audit yang dilakukan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkes RI yang menyebutkan nilainya tidak sebesar itu. “Memang ada bahasa pemborosan keuangan negara, tetapi nilainya tidak sebesar itu. Hanya puluhan juta,” tegas Yusuf.
Terkait pemborosan yang dimaksud, disebut Yusuf sudah diselesaikan di tingkat Itjen Kemenkes dan sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada surat temuan Itjen Kemenkes RI itu juga menyebutkan adanya ketidakcermatan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek itu.
“Klien saya ini juga sudah menekankan ke PPK untuk membuat pengadaan ini sesuai peraturan perundang-undangan,” tegasnya. Yusuf pun menyatakan dalam persidangan nanti dirinya dan tim akan membuktikan seluruh tupoksi yang dijalankan kliennya sebagai KPA sudah dilaksanakan. “Nanti kita lihat proses pembuktian di persidangan,” lanjutnya.
Sebelumnya diberitakan, AD menjadi tersangka bersama ZF, mantan Ketua Jurusan (Kajur) Keperawatan Poltekkes Mataram yang berperan sebagai PPK dalam proyek itu. Proyek pengadaan ABBM ini bersumber dari APBN tahun 2017 yang disalurkan melalui Kemenkes RI dengan anggaran Rp19 miliar.
Kapolda NTB, Irjen Pol Djoko Poerwanto menerangkan dalam kasus itu AD selaku KPA dan ZF selaku PPK diduga menyalahgunakan kewenangan dengan sengaja menetapkan rancangan anggaran biaya (RAB) tanpa merujuk aturan yang tepat.
“KPA tidak melakukan proses perencanaan anggaran dan lain-lain, sehingga ada empat item alat, sebanyak 14 unit alat laboratorium yang tidak dibutuhkan atau tidak terdaftar dalam standar laboratorium (tapi) diadakan,” ungkap Djoko.
Kemudian tersangka lainnya inisial ZF selaku PPK juga menyalahgunakan kewenangan dengan sengaja menetapkan harga perkiraan sendiri dan spesifikasi APBM yang diadakan. “PPK sengaja menetapkan HPS sebesar Rp19 miliar, padahal PPK mengetahui bahwa RAB dan spesifikasi APBM tersebut tidak dilakukan verifikasi,” lanjutnya.
Karena itu, keduanya diduga melakukan perbuatan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dilakukan Pegawai Negeri di Poltekkes Mataram, atas kegiatan pengadaan APBM telah melanggar Pasal 2 atau pasal 3 undang-undang Tipikor Jo pasal 55 ayat 1 KUHP penyertaan. (r)