Mataram (Inside Lombok) – Seorang warga Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah (Loteng) inisial RDS (31) diamankan petugas lantaran menjual obat halusinogen jenis tramadol dan trihexyphenidyl. Ia menjual obat-obat itu secara ilegal tanpa resep dokter, yang bisa berdampak pada pengguna baik secara fisik, psikis hingga sosial.
Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Mataram, Yosef Dwi Irwan mengatakan kasus penjualan tramadol dan trihexyphenidyl itu terungkap setelah ada informasi pengiriman obat-obatan melalui salah satu ekspedisi ke wilayah Kota Mataram. Menindaklanjuti laporan tersebut, dilakukan operasi penyelidikan dan didapati satu orang yang akan mengambil barang tersebut.
“Obat-obatan itu disimpan dalam pipa paralon dengan dalih itu merupakan sparepart kendaraan. Diduga kuat tramadol sebanyak 7.500 butir dan 7.000 trihexyphenidyl. Jadi total 14.500 butir dengan nilai ekonomi Rp145 juta,” ungkap Yosef, Senin (13/11).
Berdasarkan keterangan RDS, obat-obatan itu diperoleh dari supplier di Jakarta dan rencananya akan dijual ke wilayah Mataram dan Loteng dengan harga 10.500 per tablet. “Pengakuannya dalam tempo 3-4 hari barang habis dan dia pesan lagi. Setiap pengiriman sebanyak sekitar 150 boks, itu keuntungan diperoleh sekitar Rp9 juta rupiah,” terangnya.
Diakui, secara ekonomi keuntungan yang diperoleh sangat menggiurkan, sehingga RDS menjual obat-obatan itu secara ilegal. Ia pun diketahui menjadi pengguna juga sebelum akhirnya menjadi pengedar obat halusinogen itu. “Keterangan tersangka baru tiga bulan menjalankan ini (bisnis). Awalnya dia pengguna kemudian dia memesan di salah satu supplier di Jakarta,” tuturnya.
Dikatakan, masih tingginya peredaran obat-obat ilegal ini menunjukan masih tingginya permintaan dari penyalahguna obat di wilayah NTB. Hal ini tentunya menjadi kewaspadaan, mengingat peredaran dan penyalahgunaan obat mengancam ketahanan nasional dan daya saing bangsa.
“Saat ini target pemasaran bukan hanya untuk kelompok pekerja dan mahasiswa namun juga sudah merambah ke kelompok pelajar, tentunya ini mengancam kualitas SDM,” ucapnya.
Terhadap perkara ini Tersangka dikenakan Pasal 435 dan atau Pasal 436 UU nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman pidana penjara 12 tahun dan atau denda 5 milyar rupiah. (dpi)