Mataram (Inside Lombok) – Koalisi Anti Kekerasan NTB terdiri dari 20 organisasi masyarakat sipil lainnya meminta keadilan bagi para korban kekerasan seksual yang ada di NTB. Termasuk agar ada ruang aman dari kekerasaan seksual di lingkungan pendidikan, baik itu pondok pesantren maupun sekolah.
Dukungan ini disuarakan oleh Koalisi Anti Kekerasan NTB pada Senin (20/11), ketika sidang perkara pencabulan yang diduga dilakukan oleh pimpinan ponpes HSN (50) di Lombok Timur pada Pengadilan Negeri Selong dengan agenda pemeriksaan alat bukti saksi dari Penuntut Umum di Ruang Sidang Cakra. Persidangan berlangsung secara tertutup, dilakukan pemeriksaan para saksi yaitu anak korban (umur 15 tahun) dan kedua orangtuanya dengan didampingi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Pekerja Sosial dari Dinas Sosial Lombok Timur, UPTD PPA Lombok Timur dan Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) dari perwakilan koalisi.
“Garis besarnya persidangan berjalan lancar, meski sempat alot dan anak korban telah berjuang keras dalam memberikan keterangan sebagai anak saksi dan Majelis Hakim telah secara bijak dan profesional memimpin persidangan,” ujar Ketua Umum PBHM NTB, Yan Mangandar Putra, dalam keterangan rilisnya, Selasa (21/11).
Koalisi anti kekerasan NTB meyakini Jaksa Penuntut Umum akan mampu mempertahankan dakwaannya kepada Terdakwa yang telah melakukan kekerasan seksual kepada santrinya. Serta akan menuntut dengan hukuman penjara yang maksimal kepada terdakwa yang merupakan salah satu Pimpinan Pondok Pesantren di Kecamatan Sikur Kabupaten Lombok Timur. Meski sebelumnya pernyataan kuasa hukum HSN di beberapa media membantah kliennya melakukan pemerkosaan.
“Dalam UU TPKS pembuktiannya lebih mudah di Pasal 25 ditegaskan cukup dengan keterangan korban sebagai Saksi dan 1 alat bukti lainnya, sedangkan dalam kasus ini telah ada beberapa saksi, ahli dan bukti surat,” terangnya
Selain itu, pihak LPSK jug telah hadir turut memberikan pendampingan dalam persidangan dan merekomendasikan nilai restitusi bagi anak korban. Apabila nanti Terdakwa terbukti bersalah maka wajib membayar restitusi ini kepada korban selain hukuman penjara dan denda.
Ketua LBH APIK NTB Nuryanti Dewi mengatakan, kepada seluruh perempuan baik sebagai santri Pondok Pesantren maupun siswa di satuan pendidikan manapun untuk berani bersuara ketika menjadi korban, karena proses hukum akan berjalan secara adil dan pemerintah dalam hal ini UPTD PPA dan PEKSOS bersama Koalisi siap untuk memberikan perlindungan.
“Kami berharap kepada seluruh Ponpes dan satuan pendidikan dibawah naungan Kantor Kementerian Agama dan Dinas Pendidikan di NTB, untuk benar-benar mewujudkan ruang aman bagi anak-anak binaannya,” imbuhnya.
Kemudian seluruh guru dan tenaga kependidikan memiliki komitmen untuk tidak melakukan kekerasan seksual (child safeguarding). Dengan pembentukan satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dan lebih aktif melakukan sosialisasi kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan seksual. (dpi)