Mataram (Inside Lombok) – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB menilai pemberlakukan terhadap batas tarif pajak hiburan tertentu melalui Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) akan mematikan investasi. Terlebih besaran pajak itu mencapai 40-75 persen. Di samping itu, urgensi untuk membangun bisnis hiburan yang sehat disebut lebih memerlukan penertiban usaha ilegal yang beroperasi.
Ketua PHRI NTB, Ni Ketut Wolini menyebut pengenaan retribusi sebesar 10 persen saja cukup berat bagi pelaku usaha hiburan di tengah situasi ekonomi saat ini. Apalagi NTB sebelumnya dilanda gempa dan Covid-19, sehingga tengah dalam upaya bangkit.
Pemberlakukan kebijakan pajak sebesar maksimal 75 persen akan semakin menggerus modal, tidak hanya menggerus untung. Kebijakan ini akan membuat semakin banyaknya usaha hiburan yang gulung tikar. “Mereka bingung mau mencari kerja ke mana lagi. Seharusnya pemerintah jangan pandang hiburan secara negatif, karena hiburan dibutuhkan juga. Semestinya, pemerintah daripada menaikkan tarif pajak, seharusnya tertibkan yang ilegal,” ujar Wolini, Rabu (24/1).
Pemerintah menurutnya perlu memberikan perhatian untuk menertibkan usaha-usaha hiburan yang ilegal yang jumlahnya menjamur. Usaha-usaha hiburan illegal ini justru tidak terkontrol kegiatan hiburan dilakukannya. Selain itu, daerah juga kehilangan potensi pendapatannya. “Tugasnya pemerintah, aparat. Jangan fokus menaikkan tarif pajak,” katanya.
Padahal negara sudah memberlakukan berbagai jenis pungutan. Seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, ditambah dengan pajak progresif sebesar, jika diakumulasi angkanya sudah diatas 70 persen. Ditambah dengan pungutan-pungutan lainnya, maka tidak akan ada keuntungan didapat oleh pengusaha.
“Kalau kemudian kita dikenakan pajak 40 persen, belum ppn pph. Kita narik untung paling 10 sampai 20 persen saja sudah tinggi sekali. Dari mana mau nyari sisanya sekian persen. Ini yang buat undang-undang, mikir nggak sampai memutuskan sebesar itu,” tuturnya.
Padahal, di negara-negara lain justru meringankan pajak. Thailand misalnya hanya 5 persen. Indonesia justru sebaliknya menaikkan hingga 75 persen. “Hal ini tidak bagus buat perekonomian kita nantinya,” ujarnya. (dpi)