Lombok Timur (Inside Lombok) – Puluhan sopir dump truck menggelar aksi protes terkait pungutan pajak angkutan material di posko perbatasan Lombok Timur (Lotim) – Lombok Tengah (Loteng), Rabu (08/05/2024). Aksi protes itu pun sempat memanas, bahkan sampai dilakukan blokade jalan raya hingga terjadi kemacetan dan lumpuhnya arus lalu lintas.
Salah seorang sopir dump truck, Abdul Hadi mengatakan aksi protes tersebut terkait pajak angkutan Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) yang telah diberlakukan di Lotim. Semula, sopir dump truck membayar pajak secara langsung di perbatasan senilai Rp25 ribu. Namun kini diberlakukan hitungan pajak per kubikasi, yaitu senilai Rp72 ribu jika truk terisi penuh.
“Kita ingin tarifnya disesuaikan seperti dulu, kalau dulu kita hanya bayar Rp25 ribu sekali lewat di perbatasan, tapi sekarang naik menjadi Rp72 ribu tergantung jenis materialnya,” ungkapnya di tengah aksi.
Para sopir pun kini diharuskan membawa kwitansi dari pemilik tambang yang nantinya diminta membayar pajak angkutan MBLB itu. “Memang dibebankan kepada penambang pajaknya, tapi kan tentu harga material juga semakin mahal dan kita juga yang kena dampaknya,” tuturnya. Para sopir dump truck itu pun berharap agar tarif pajak dapat dikembalikan seperti sedia kala.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lotim, Muksin menerangkan bahwa aksi sopir dump truck tersebut seolah menggiring Pemda Lotim untuk kembali seperti dahulu, yakni membayar pajak MBLM di pos perbatasan.
“Mereka menuntut meminta untuk pembayaran pajak MBLB di pos, tapi secara regulasi yang membayar pajak itu adalah pemilik tambang, jadi salah banget kita kalau yang membayar pajak itu adalah sopir di pos,” terangnya.
Terkait dengan pungutan pajak tersebut dijelaskan Muksin seharusnya menjadi tanggungjawab pemilik tambang, sehingga para sopir dump truck pun dinilai tidak perlu sampai turun melakukan aksi massa. Pihaknya takut, jika sistem lama diterapkan kembali seperti tuntutan para sopir tersebut, maka penertiban pungutan pajak akan sulit terealisasi dan rentan permainan oknum.
“Kalau kita kembali seperti dulu akan banyak lagi yang membayar Rp10 ribu dan Rp20 ribu di pos tanpa memperdulikan aturan yang ada,” ungkapnya. Sistem yang diberlakukan saat ini merupakan regulasi yang jelas dan telah diatur dalam peraturan daerah (perda), dan yang ditekankan untuk membayar pajak tersebut merupakan para pemilik atau pengusaha tambang tanpa harus menyusahkan para sopir truk pembawa material.
“Kalau para sopir ini menekan kami untuk kembali menerima uang tentu tidak bisa karena sudah ada regulasinya dan terjamin keamanan dan pertanggungjawabannya jika menggunakan kuasi itu,” tegasnya.
Berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2023, besaran tarif dihitung dalam bentuk kubikasinya dan tergantung jenis MBLB-nya. Kalau pasir urug kita berikan tarif Rp6 ribu per kubik, dan kalau pasir pasang senilai Rp15 ribu per kubiknya, tanah dan batu senilai Rp8 ribu per kubik, serta batu pecah senilai Rp25 ribu per kubik.
Untuk mengatasi persoalan para sopir truk tersebut, Muksin ingin membuktikan bahwa regulasi yang ada saat ini benar-benar amanah dan dapat dipertanggungjawabkan. Terlebih regulasi saat ini merupakan tuntutan dari para sopir truk pasa aksi sebelumnya.
“Tidak ada pungutan lagi di pos secara tunai, melainkan harus membawa kuasi (kwitansi). Serta masalah retribusi pajak MBLB merupakan urusan kami dengan pemilik atau pengusaha tambang,” pungkasnya.
Para sopir truk yang mengangkut material MBLB harus dilengkapi dengan kwitansi sehingga tidak lagi dibebankan kepada mereka apabila membayar di pos perbatasan. Hal itu dilakukan agar sistem penarikan dan pertanggungjawaban dapat berjalan dengan tertib. “Ini berjalan sesuai regulasi dan tidak ada kenaikan tarif serta yang ada hanya perubahan sistem penarikan, bahkan itu lebih mempermudah para sopir sebetulnya,” pungkasnya. (den)