Mataram (Inside Lombok) – Pabrik gula di NTB sejauh ini memenuhi kebutuhan bahan baku pembuatan gula yakni raw sugar atau kembang gula dengan mengimpor dari Thailand. Sampai dengan Mei 2024 ini, NTB telah mengimpor sebanyak 20 ribu ton raw sugar.
Pada saat Badan Pusat Statistik (BPS) NTB merilis transportasi angkutan laut maupun udara, ada gula yang dikirim keluar, sebagian nantinya dioper ke Surabaya dan Jawa Timur sebagai bahan baku untuk pabrik gula di sana. “Ada sekitar 20 ribu ton (raw sugar), semuanya jadi satu dari Thailand masuk ke Calabai dan sebagiannya nanti dibawa ke Surabaya dan Jawa Timur,” ujar Kepala BPS NTB, Wahyudin, Rabu (19/6).
Berdasarkan data BPS NTB, impor tersebut dengan nilai sebesar USD 12,18 juta atau sekitar 12,32 persen dari seluruh impor. Dimana gula dan kembang gula ini dibongkar di Pelabuhan Calabai, Bima. Gula ini diimpor oleh PT Sukses Mantap Sejahtera (SMS) di Dompu.
“Gula diimpor bukan berbentuk gula putih yang siap dikonsumsi. Tapi raw gula yang menjadi bahan baku untuk pembuatan gula. Biasanya impor ini ditujukan ke PT SMS di Calabai,” terangnya.
Sementara itu, nilai impor NTB pada Mei 2024 sebesar USD 98.882.421. Jumlah impor ini mengalami penurunan sebesar 35,35 persen dibandingkan April 2024 sebesar USD 152.960.945. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, nilai impor NTB pada Mei 2024 mengalami kenaikan 241,03 persen. “Selain raw sugar, ada beberapa komoditi lainnya yang di impor NTB,” ucapnya.
Impor terbesar berasal dari China senilai USD 45.409.243 atau sekitar 45,92 persen. Disusul Thailand dengan nilai USD 20.474.545 atau sekitar 20,71 persen. Singapura dengan nilai USD 14.269.266 atau sekitar 14,43 persen, Australia USD 5.809.938 atau sekitar 5,88 persen, dan Amerika Serikat dengan nilai USD 3.353.243 atau sekitar 3,39 persen.
“Sedangkan pada April 2024 terbesar berasal dari Cina dengan nilai USD 59.553.431 atau sekitar 38,93 persen, Jerman dengan nilai USD 36.226.616 atau sekitar 23,68 persen, Swedia dengan nilai USD 17.294.041 atau sekitar 11,31 persen, dan Jepang dengan nilai USD 10.097.197 atau sekitar 6,60 persen,” demikian. (dpi)