Lombok Timur (Inside Lombok) – Dugaan penganiayaan terhadap santriwati NI asal NTT di Ponpes Al-Aziziyah Gunung Sari, Lombok Barat menjadi perhatian publik. Sampai saat ini NI pun masih dalam kondisi kritis karena mengalami henti napas dan dipasangi ventilator di RSUD dr R Soedjono Selong. Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM) NTB selaku pihak yang melakukan pendampingan pada NI pun menilai pihak ponpes dalam hal ini seolah mengabaikan tanggung jawab terhadap santri-santriwatinya.
Ketua Umum PHBM NTB, Yan Mangandar Putra menilai dugaan penganiayaan terhadap santriwati tersebut seharusnya menjadi perhatian pihak ponpes juga, karena NI sudah sakit sejak masih tinggal di asrama. Sampai akhirnya kondisinya semakin parah saat dibawa pulang oleh pihak keluarga.
“Seharusnya ada intervensi dari pihak ponpes pada saat anak diketahui sakit, apalagi anak seperti NI dalam kondisi kritis. Paling tidak menghubungi keluarga santrinya kalau anaknya sakit,” ucapnya, Rabu (26/06/2024).
Diketahui kondisi NI sendiri sudah beberapa hari melemah dan diketahui pertama kali oleh petugas dapur di ponpes. “Pihak ponpes tidak memiliki rasa empati melihat anak dalam kondisi kritis, yang seharusnya dia yang berinisiatif merujuk anak ini ke rumah sakit. Ini kritis loh, bukan sakit kepala biasa,” jelasnya.
Dijelaskan Yan, justru yang memiliki inisiatif untuk membawa NI ke rumah sakit bukanlah pihak ponpes, melainkan teman dari korban NI sendiri. Di mana temannya diketahui menghubungi keluarga korban agar dijemput untuk dibawa berobat. “Setelah menghubungi keluarga korban NI, lalu adik orang tuanya datang dan menjemputnya,” tuturnya.
Diungkapkan Yan, beberapa hari mendapatkan perawatan di Lombok Timur, orangtua korban akhirnya datang dan korban dalam kondisi setengah sadar menceritakan bahwa dirinya mengalami kekerasan di ponpes. “Tapi tidak sempat menjelaskan banyak hal karena kan kondisinya masih kritis, dan sampai hari ini sangat kritis sampai buka mata saja tidak bisa. Bahkan kata orangtuanya tidak ada penyakit bawaan apapun pada korban,” tuturnya.
Pengakuan dari korban dikatakan Yan berbanding terbalik dengan pernyataan pihak ponpes, yang menyebut NI sakit karena memecahkan jerawat yang ada di hidungnya menggunakan jarum berkarat. “Saya sempat lihat korban di ruang ICU, berbanding terbalik dengan apa yang saya bayangkan. Kondisinya sangat jauh lebih buruk,” bebernya.
PBHM sendiri terus mendukung pelayanan terbaik dari RSUD dr Soedjono Selong. Sementara untuk proses hukum sendiri akan terus didorong terlebih pihak keluarga sudah melayangkan laporan ke Polresta Mataram pada 22 Juni 2024 kemarin.
“Kami mendukung proses hukum Polresta Mataram agar kejadian ini menjadi jelas dengan merespon cepat memanggil saksi-saksi dan juga pihak ponpes. Pemanggilan terhadap ponpes kita harapkan tidak hanya terfokus pada pidana, melainkan pihak ponpes apakah sudah tidaknya menjalankan perlindungan terhadap santrinya karena seharusnya dia yang paling bertanggung jawab,” harapnya. (den)