Mataram (Inside Lombok) – Pendapatan per kapita masyarakat NTB saat ini masih rendah, bahkan masuk dalam urutan terendah ketiga di Indonesia. Padahal, jika melihat pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2024 saja optimis tumbuh positif. Begitu juga angka inflasi relatif terkendali. Melihat kondisi itu, pertumbuhan ekonomi NTB dinilai semu.
Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi NTB, Winda Putri Listya mengakui jika pertumbuhan ekonomi meningkat kalau dibandingkan dengan provinsi lain, angkanya bisa cukup bersaing. Hanya saja yang menjadi pertanyaan mengapa pendapatan perkapita di NTB terendah nomer tiga.
“Pertanyaan besar, akhirnya itu dinamakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Inklusif itu saat masyarakat bisa merasakan peningkatan pendapatan, kalau pendapatan perkapitanya tidak meningkat berarti pertumbuhan ekonominya semu,” ujarnya, usai melakukan Diseminasi Laporan Perekonomian Provinsi NTB di Ruang Serba Guna, Rabu (3/7).
Kendati demikian, ada investasi tambang besar di NTB. Apalagi ketergantungan NTB terhadap sektor pertambangan cukup tinggi, seperti tambang emas oleh PT Amman Mineral Nusa Tenggara di Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat. Dimana itu salah satu pakar ekonomi sudah melakukan komparasi, bagaimana hilirisasi tambang/nikel di Sulawesi Selatan.
“Setelah dievaluasi, hilirisasi nikel itu memang menambah pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak menambah indikator-indikator kesejahteraan masyarakat. Artinya, sektor pertambangan itu eksklusif. Hanya pelaku-pelakunya saja yang dapat (manfaat ekonominya), masyarakatnya ada, tapi minim,” ungkapnya.
Menurutnya, secara pertumbuhan ekonomi NTB sangat tergantung dengan kontribusi tambang. Tetapi, secara inklusif, pertumbuhan ekonominya tidak terlalu berdampak luas kepada masyarakat. Bahkan, tenaga kerja disana tidak banyak menggunakan orang lokal.
“Waktu itu kunjungan ke PT Amman, saya tanyakan yang mana orang sumbawa (tenaga kerja). Mereka bilang nggak ada, karena ini membutuhkan kerja skill. Terus kontribusi ke masyarakat apa saja? Jawabnya, kami kasi catering. Yah, masak cuma segitu,” terangnya.
Maka dari itu membuat Bank Indonesia terus mendalami sumber persoalannya dengan rutin menggelar FGD (Forum Group Diskusi). Nantinya membentuk tim akselerasi pertumbuhan ekonomi daerah. Sektor-sektor yang menjadi pertumbuhan ekonomi inklusif harus terus digenjot. Terutama sektor pertanian, dan pariwisata yang menyerap banyak tenaga kerja kualifikasi menengah kebawah.
“Bandingkan kalau dengan sektor pariwisata. Dan pertanian, banyak tenaga-tenaga kerja yang terserap walaupun pendidikannya rendah. Artinya, masyarakat menerima langsung dampaknya,” demikian. (dpi)