Mataram (Inside Lombok) – Anggota DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB), Nauvar Furqoni Farinduan menilai Pemerintah Provinsi NTB tidak berimbang menyalurkan dana hibah untuk lembaga dan organisasi pendidikan dan kebudayaan pada tahun 2019.
“Terlihat sekali dana bantuan hibah yang di berikan kepada lembaga-lembaga pendidikan/pelatihan/ penelitian pada tahun ini sangat jelas ketimpangan dan ketidak-berimbangannya apabila dilihat dari nilai bantuan yang diberikan,” ujarnya di Mataram, Sabtu.
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD NTB itu, mengatakan seharusnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB dalam hal ini gubernur ataupun wakil gubernur dalam menetapkan sebuah kebijakan khususnya terkait dana hibah untuk lembaga-lembaga yang berorientasi pendidikan dan pelatihan haruslah mengacu terhadap asas pemerataan dan keberimbangan.
“Bantuan bantuan terhadap lembaga-lembaga ini memang merupakan kewajiban pemerintah sebagai ‘support tool’ atas keberlangsungan lembaga-lembaga tersebut kedepan, tapi perlu di ingat asas pemerataan dan keberimbangan harus dikedepankan,” jelas Farin sapaan akrabnya menyikapi beredar luasnya dana hibah Pemprov NTB di Dinas Pendidikan NTB di media sosial sehingga menimbulkan polemik di masyarakat NTB.
Menurut politisi Gerindra ini, perspektif DPRD yang memiliki fungsi kontrol menilai dan melihat kebijakan pemprov saat ini terhadap bantuan-bantuan ini tidak hanya dari kata-kata yang di ucapkan gubernur saja, namun juga harus ini terefleksi semua dalam angka-angka.
“Nah ketimpangan dan ketidak-berimbangan dari nilai bantuan ini sangatlah terasa sekali dan kental subjektifitas dan ketidakprofesional pemprov dalam menentukan acuan dalam penetapan distribusi bantuan ini,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Farin menambahkan dalam menentukan bantuan haruslah jelas ‘term of reference’ dan juga indikator indikator ‘output’ dan outcomenya, bukan hanya memberikan berdasarkan suka atau tidak suka atau bahkan berdasarkan pendukung ataupun bukan pendukung saat jaman pilkada.
“Seharusnya ada batas batas subjektif toleransi yang dapat dibenarkan dan bisa di terima. Jangan sampai seperti ini ratusan juta berbanding puluhan juta. Tidak jelas ukurannya dan cenderung mau mau nya saja,” sebutnya.
Karena itu, Farin mengingatkan Pemprov NTB bahwa semua lembaga-lembaga tersebut punya hak yang sama dan tuntutan yang sama dari pemerintah, jangan kemudian kewajiban dituntut sama, tapi berbicara hak-hak malah cenderung subjektif ukurannya. Untuk itu, ia berharap kepada OPD harus mampu memberikan penjelasan teknis terkait ini hal-hal tersebut.
“Jangan justru hanya retorika konsep dan program, karena ukuran pembangunan ini haruslah jelas, apa output atau outcome yang akan dicapai dari nilai bantuan-bantuan ini dalam jangka waktu 4 tahun kedepan, sehingga ke-gemilangan NTB yang di gaung-gaungkan jangam berubah menjadi kegalauan,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan NTB, H. Rusman menegaskan alokasi dana bantuan sosial (Bansos) maupun hibah diatur berdasarkan peraturan gubernur (Pergub) No 21 tahun 2017 tentang Pengelolaan Dana Hibah dan Bansos. Alokasi ini kemudian diatur kembali pada Pergub No 4 tahun 2018.
“Artinya setiap OPD sesuai tupoksinya menerima proposal hibah bansos yang masuk. Kemudian setiap proposal yang masuk disampaikan ke Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk penganggarannya. Kajiannya nanti oleh OPD yang bersangkutan dan baru ditetapkan,” terangnya.
Terkait berapa besaran anggaran yang diberikan, kata Rusman harus sesuai Pergub. Bahwa besaran tertinggi untuk lembaga pendidikan Rp300 juta dan organisasi kemasyarakatan Rp250 juta. Namun, didalam Pergub pasal 3 ayat 7 terkait besaran standar tertinggi dikecualikan atas persetujuan gubernur.
“Nanti akan disampaikan kepada TAPD untuk kemudian mendapat persetujuan gubernur dan ditetapkan,” katanya. (Ant)