Lombok Utara (Inside Lombok) – Pemerintah telah menetapkan kuota program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk tahun 2024 sebanyak 166 ribu unit. Jumlah ini turun drastis dari tahun sebelumnya yang berkisaran di angka 200 ribuan. Bahkan saat ini kuota KPR subsidi sudah habis, hal tersebut menjadi kekhawatiran para developer, terutama di NTB karena akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah.
“Kita juga kaget. Biasanya per tahun itu di atas 200 ribu unit (kuotanya, Red), ternyata infonya tahun ini 160 ribuan. Kalau seandainya benar 160 ribuan, ini kan baru bulan Agustus masa sudah habis. Itu kami sayangkan,” ujar Ketua Real Estate Indonesia (REI) NTB H Hery Susanto, Kamis (1/8).
Informasi kuota rumah subsidi yang habis di pertengahan 2024 ini pun sangat disayangkan, lantaran developer sudah menyiapkan 5 ribuan unit rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di NTB. Mengingat banyaknya masyarakat membutuhkan rumah. Pihaknya pun berharap Kementerian PUPR, Menteri Keuangan dan TAPERA bisa menjembatani kondisi ini.
Keresahan lain yang dihadapi developer adalah penyelesaian pembangunan yang menggunakan dana perbankan. Habisnya kuota rumah subsidi ini dikhawatirkan membuat rumah yang sudah terbangun sulit terjual, sehingga developer sedikit kesulitan menyelesaikan kewajiban perbankan.
“Saya khawatir ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi NTB ke depan. Karena kita akumulasi dari angka 5 ribu (rumah yang terbangun) dikasih Rp185 juta (harga rumah subsidi, Red) setara berapa itu? Artinya perputaran investasi sebesar Rp185 juta dikali 5 ribu itu sudah hampir Rp1 triliun,” ungkapnya.
Terkait dengan habisnya kuota KPR ini, sudah menjadi pembahasan REI pusat. Bahkan sudah ada komunikasi dengan pihak terkait. Pihak developer mengetahui bahwa kuota sudah habis dari pihak perbankan, karena sudah tidak melakukan akad rumah lagi.
“5 ribu sedang bangun dan tidak bisa ditransaksikan karena kuotanya habis. Pemerintah pusat yang menentukan kuota dan itu dibagi bagi ke masing masing bank. Sudah tidak ada (kuota subsidi,red), kecuali itu bank BTN,” terangnya.
Lebih lanjut, bahkan dikonfirmasi kepada pimpinan cabang di Mataram dan belum bisa diyakinkan angkanya berapa yang bisa akad. Karena itu di letakan satu wadah di pusat, jadi selama masih ada baru bisa diakadkan.
“Selama ada pengajuan, diakadkan masih jalan, berarti masih ada. Tapi bisa jadi tiba tiba habis habis meskipun tidak ada mengatakan sudah habis, itu yang kita khawatirkan,” sambungnya.
Ada solusi untuk persoalan ini, jika kuota KPR subsidi telah habis. Yakni mengkomersilkan rumah-rumah dibangun. Namun jika komersil maka berdampak kepada masyarakat. Karena itu untuk MBR.
“Sekarang ketika dia komersilkan, angka cicilannya dari Rp1 jutaan bisa tembus Rp4 juta. Ini tentunya memberatkan konsumen. Karena memang tujuan yang pembangunan 5000 murni untuk MBR,” katanya.
Kemudian, nantinya perbankan akan mencari atau membuat produk yang bisa setara dengan subsidi. Tentunya dengan bunganya cukup besar, berkisaran 9 persen, sedangkan dari pemerintah hanya diberikan 5 persen. Artinya masih ada selisih 4 persen untuk bunganya.
“Jika memang 160 ribuan itu tidak ada (habis,red) atau ada program lain saya tidak tahu. Rasanya aneh juga di pertengahan tahun sudah habis. Kalau habis di November itu kami memaklumi,” demikian. (dpi)