Lombok Tengah (Inside Lombok) – Di tengah gempuran kemajuan teknologi yang terus mengikis berbagai tradisi dan kebersamaan anak-anak yang seharusnya menghabiskan waktu untuk bermain dan belajar bersama. Anak-anak di Desa Labulia, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah terlihat begitu antusias menonton pertunjukan Wayang Botol. Sebagai salah satu wadah kampanye untuk mencegah pernikahan anak dan edukasi terkait peduli lingkungan.
Sehabis isya, satu persatu anak-anak mulai berdatangan di lapangan desa. Selain datang bersama teman-temannya, nampak sejumlah anak-anak juga ditemani para orang tua. Suasana malam yang sangat hangat dan masih kental dengan nuansa pedesaan itu pun terlihat begitu dinikmati.
Pementasan Wayang Botol dalam memperingati Hari Anak Nasional ini, dimainkan secara kolektif oleh Forum Anak Desa (FAD) Labulia. Di mana satu tokoh wayang botol diperankan satu orang. Adapun cerita yang dibawakan dalam pementasan Wayang Botol di lapangan Labulia tersebut mengisahkan tentang putri Mandalika, yang dikemas sedikit berbeda dari cerita bisanya.
Dalam pementasan ini, sosok Putri Mandalika digambarkan dipaksa menikah dini oleh orang tuanya. Mandalik disuruh memilih salah satu pangeran kerajaan yang telah melamarnya. Namun saat itu, Mandalika menolak perintah sang raja dan ratu. Dengan alasan masih terlalu muda dan ingin melanjutkan sekolahnya terlebih dahulu.
Karena paksaan itu Mandalika berencana untuk menceburkan diri ke laut. Kemudian, sang raja dan pangeran yang ingin mempersunting putri Mandalika mengetahui tindakan Mandalika itu, karena alasan tidak ingin menikah. Mereka pun akhirnya panik dan ramai-ramai mendatangi tebing di pinggir laut yang akan menjadi lokasi putri Mandalika bunuh diri.
Uniknya, setiap sebelum berpindah adegan berikutnya, orkestra musik yang mengiringi pertunjukan dimainkan, suara suling, gong, gitar yang dimainkan semakin menambah emosi para penonton.
Pada saat itu, Mandalika menyampaikan pesan, bahwa ia tidak ingin menikah dan lebih memilih menceburkan diri ke laut untuk bunuh diri. Sang raja dan ibunya yang mendengar perkataan tersebut pun menangis menyesal atas paksaan terhadap putri semata wayangnya itu.
Tapi ceritanya tidak sampai disini, putri Mandalika yang saat itu hendak menceburkan diri ke laut, ternyata punya siasat lain. Dia bersembunyi di belakang tebing dan melarikan diri ke luar dari istana karena tidak ingin menikah dini. Mandalika pun memilih hidup di luar untuk menuntut ilmu di sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Setelah sekian tahun meninggalkan kerajaan dengan mengenyam pendidikan, ia tumbuh menjadi orang yang sukses berguna bagi agama, bangsa dan negara. Setelah itu ia memilih kembali pulang menemui orang tuanya di kerajaan. Namun, kepulangan Mandalika ke istana, ternyata tidak diakui oleh kedua orang tuanya. Lantaran sang raja dan permaisuri, menganggap anaknya sudah meninggal ditelan ganasnya samudra.
Pada akhir cerita, putri Mandalika pun bercerita jujur kepada kedua orang tuanya. Bahwa sebenarnya dia tidak menceburkan diri melainkan bersembunyi di belakang tebing dan memilih untuk pergi sekolah. Dari pengakuan tersebut sang raja dan istrinya pun mengakuinya, dan memeluk anaknya. Mereka digambarkan merasa bahagia dan sang raja berjanji tidak akan memaksa anaknya untuk menikah sebelum cukup usia dan menjadi anak yang berpendidikan. Akhir cerita Wayang Botol putri Mandalika itu pun disambut sorak sorai dan tepuk tangan para penonton, yang tentu saja didominasi anak-anak.
Field Officer to Youth Kabupaten Lombok Tengah, Nurjiatul Rizkiah menyampaikan, program pementasan tersebut, selain memperingati Hari Anak Nasional juga bertujuan untuk melakukan kampanye pencegahan pernikahan usia anak. “Tujuan program ini untuk mencegah perkawinan anak, serta kekerasan berbasis gender dan seksual di lingkungan masyarakat,” terang Rizkiah, beberapa hari yang lalu. Kata dia, program itu diselenggarakan hanya di dua kabupaten di Pulau Lombok. Yakni Lombok Tengah dan Lombok Timur.
Kampanye melalui pertunjukan Wayang Botol dipilih karena dinilai sebagai budaya yang dekat dengan masyarakat Lombok. Selain kampanye tentang pesan sosial dalam pertunjukan, Wayang Botol juga dianggap mempunyai nilai edukasi tinggi tentang menjaga lingkungan. Karena sampah botol plastik dapat dijadikan mainan Wayang Botol. Sehingga sampah di lingkungan dapat terurai, bahkan sampah botol bisa menjadi sangat bernilai.
“Wayang Botol ini banyak aspek yang bisa disentuh mulai dari lingkungan, seni budaya. Jadi, ketika mereka sudah bisa membuat wayang botol, mereka akan mudah untuK mengkampanyekan baik soal lingkungan maupun isu sosial,” bebernya.
Salah seorang anggota FAD Labulia, Faneza Hardiani Saputri yang memerankan putri Mandalika dalam wayang botol mengungkapkan rasa bangganya bisa terlibat dalam kampanye pencegahan pernikahan anak melalui pertunjukan.
“Rasanya bangga sekali, bisa berbagi cerita sama teman-teman kalau menikah dini itu tidak baik. Kita harus cukup usia dulu, kita harus siap dengan kesehatan reproduksi kita, juga dengan mental,” ungkap Faneza.
Senada dengan Feza, Husnul Khatimah juga mengungkapkan kebanggaannya mementaskan wayang botol dengan berperan sebagai ibunda ratu. Bagi dia, ini merupakan pengalaman yang luar biasa.
Menurutnya, selain mendapatkan edukasi tentang antisipasi pernikahan dini, pementasan wayang botol ini juga tentang peduli terhadap lingkungan. “Seru dah, bisa belajar sama teman-teman bagaimana cara buat wayang pakai botol, yang selama ini kita buang-buang,” pungkas Husnu. (yud)