26.5 C
Mataram
Minggu, 24 November 2024
BerandaEkonomiKenaikan Cukai Rokok Belum Jelas, Omzet Penjualan Menurun

Kenaikan Cukai Rokok Belum Jelas, Omzet Penjualan Menurun

Mataram (Inside Lombok) – Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) setiap tahunnya mengalami penyesuaian tarif. Rencananya di 2025 mendatang tarifnya akan naik 5 persen. Namun Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan penyesuain tarif CHT atau cukai rokok tahun depan belum akan dinaikkan.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) NTB, Sahminuddin menyebut informasi kenaikkan CHT di 2025 itu belum jelas. Tidak seperti di 2023 dan 2024 yang kenaikannya sudah diumumkan pada Agustus 2022, dua tahun sekaligus, dengan kenaikan 10 persen per tahun dari rencana rata-rata kenaikkan 8,5 persen per tahun.

“Kenaikkan CHT setiap tahun menyebabkan penurunan omzet penjualan rokok. Penjualan rokok yang turun, jelas kebutuhan tembakaunya berkurang,” ujarnya, Selasa (24/9). Lebih lanjut, sementara produksi tembakau cenderung naik. Artinya penawaran lebih besar dari permintaan sedangkan harga turun (hukum pasar/hukum ekonomi).

Diakui, tahun lalu harga tembakau sangat bagus, karena banyak produsen rokok ilegal membutuhkan. Berbanding terbalik dengan tahun ini, justru rokok ilegal banyak yang tidak terserap, otomatis produsen rokok ilegal mengurangi atau berhenti berproduksi.

Selain itu, produsen rokok legal yang taat dengan CHT dan pajak juga membutuhkan tembakau, hanya saja sekedar untuk bertahan kelangsungan usahanya. “Sementara di tingkat petani luas tanam meningkat. Biaya produksi terutama dari segi sewa lahan yang gila-gilaan. Ongkos tenaga kerja meningkat,” terangnya.

Dikatakan untuk biaya produksi tahun ini berkisar Rp72-75 juta per hektare, dengan asumsi rata-rata produksi 2 ton per hektare. Artinya biaya produksi Rp36.000-37.500 per kg. Agar petani dapat keuntungan wajar mereka harus menerima harga jual dengan bc ratio 1,3. Menurutnya, harga ideal yang harus diterima petani tahun ini rata-rata Rp46.800 per kg sampai Rp48.750 per kg atau Rp93,6-97,5 juta per hektare. Namun prediksi tersebut sangat tergantung dari kuantitas dan kualitas produksi.

“Beberapa minggu lalu saya diundang rapat musyawarah harga dasar oleh salah satu perusahaan. Harga ditetapkan cukup wajar, tapi prakteknya di lapangan saya kurang tau,” bebernya.

Namun, tidak semua perusahaan melakukan musyawarah rapat harga. Disinilah salah satu kelemahan Pemda NTB sebagai penanggung jawab usaha tani. Pasalnya, petani yang ada kemitraannya jelas ada jaminan pasar dan harga, tetapi petani yang tidak punya kemitraan justru tidak mendapatkan apa-apa.

“Pemda NTB atau dinas terkait yang punya otoritas dan tanggung jawab itu. Memang setiap kenaikan CHT tentu sangat berpengaruh terhadap harga tembakau,” jelasnya. Apalagi harga tembakau ditentukan oleh seberapa besar permintaan pabrikan, dan pabrikan akan menyesuaikan dengan kebutuhan. Selanjutnya kebutuhan disesuaikan dengan berapa rokoknya laku. (dpi)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer