Mataram (Inside Lombok) – Beberapa minggu terakhir ini publik dihebohkan atas kasus pelecehan seksual diduga dilakukan oleh IWAS alias Agus, seorang pria berusia 22 tahun yang merupakan penyandang disabilitas tunadaksa tanpa kedua lengan. Terlebih korban kasus tersebut diduga mencapai belasan orang, termasuk ada anak di bawah umur.
Kasus ini menjadi perhatian luas, terutama karena terjadi di tengah pelaksanaan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Merespons kasus ini, tiga lembaga negara yang memiliki mandat terkait perempuan, anak, dan penyandang disabilitas, yakni Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND), bersama mendukung penanganan kasus secara komprehensif, adil, dan berbasis hak asasi manusia.
Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang menyatakan kasus ini menunjukkan pola dan modus kekerasan seksual semakin beragam. Hal ini menuntut masyarakat untuk lebih waspada dan terus meningkatkan pemahaman terkait pola-pola kekerasan seksual yang sering kali sulit dikenali.
“Kasus ini memperlihatkan betapa pentingnya edukasi publik tentang modus kekerasan seksual yang semakin kompleks. Pengetahuan ini penting agar masyarakat dapat mengenali tanda-tanda kekerasan seksual, mencegah terjadinya kekerasan, serta memberikan dukungan yang tepat kepada korban,” ujarnya, Rabu (11/12).
Komnas Perempuan juga menggarisbawahi pentingnya peran masyarakat dalam mendorong lingkungan yang aman dan mendukung bagi perempuan dan anak. Sekaligus meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual secara profesional dan sensitif. Sekaligus kasus IWAS menjadi momentum mengapresiasi adanya Pedoman Kejaksaan No.2 Tahun 2023 tentang akomodasi yang layak dan penanganan perkara yang aksesibel dan inklusi bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan.
Ditambahkan, Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Bahrul Fuad mengatakan, bahwa pihaknya telah menerima pengaduan dari Koalisi Anti Kekerasan Seksual NTB. Dimana yang bertindak sebagai kuasa hukum dan pendamping korban. Koalisi ini terdiri dari empat lembaga yang aktif mendampingi para korban dalam kasus ini.
“Komnas Perempuan terus memantau dan mendalami kasus ini untuk memastikan proses hukum berjalan adil dan transparan sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS),” ujarnya.
Penanganan kasus kekerasan seksual tidak hanya sebatas pada proses hukum terhadap pelaku, tetapi juga memastikan bahwa korban mendapatkan dukungan pemulihan yang memadai, termasuk layanan psikologis, medis, dan hukum. “Kami juga mendorong agar hak-hak korban, khususnya hak atas pemulihan fisik dan psikologis dapat terpenuhi,” imbuhnya.
Sementara itu, Anggota KPAI sekaligus Pengampu Klaster Anak Korban Kekerasan Seksual, Dian Sasmita mengatakan, sangat prihatin terhadap dua korban anak dalam kasus ini. Kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya menimbulkan trauma mendalam, tetapi juga dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan psikologis mereka.
“KPAI saat ini terus berkoordinasi dengan pihak pendamping kedua anak korban untuk memastikan pemulihan psikologisnya dengan baik. Kami mendorong agar korban mendapatkan layanan psikososial yang memadai dan berkelanjutan untuk membantu mereka pulih dari trauma,” ujarnya.
Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Jonna Damanik, menyoroti aspek yang berkaitan dengan status pelaku sebagai penyandang disabilitas. Berdasarkan hasil koordinasi dengan Komite Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Polda NTB, dan pihak terkait lainnya, diketahui bahwa Polda NTB telah memberikan akomodasi yang layak selama proses hukum terhadap pelaku.
“Polda NTB telah memenuhi prinsip-prinsip akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020,” ujarnya. (dpi)