Mataram (Inside Lombok) – Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemprov NTB inisial R alias Rosiady Husaenie Sayuti ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi kerja sama pengelolaan aset milik pemerintah provinsi berupa lahan pembangunan gedung NTB City Center (Labkesda – NCC) di Kota Mataram.
“Pada hari ini (13/2/2025) telah dilakukan penahanan terhadap saudara R (Rosiady) terkait dengan pemanfaatan lahan pemda. Saat itu R dalam jabatan sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) NTB,” kata Ketua Tim Penyidik kasus NCC dari Kejati NTB, Indra HS, Kamis (13/2).
Penetapan R sebagai tersangka atas kasus ini, seharusnya dari pemanfaatan lahan tersebut pemprov NTB menerima senilai Rp12 miliar. Namun, pemprov NTB justru menerima sebesar Rp6,5 miliar, sehingga terjadi kekurangan penerimaan yang seharusnya sesuai dengan rencana anggaran biaya (RAB) yang ada sebesar Rp12 miliar. “Ini diterima oleh pemda Rp6,5 miliar. Jadi ada pengurangan diterima pemda,” katanya.
Lebih lanjut, angka tersebut termasuk dalam kerugian keuangan negara, karena nilai pembangunannya tidak sesuai dengan kesepakatan. Dimana, kesepakatan untuk memanfaatkan lahan tersebut, ada persyaratan relokasi gedung dan pembangunannya harus sesuai standar Permen PU.
“Secara detailnya harus mengacu kepada Permenkes 605 tahun 2008. Dari PU telah menghitung RAB dari lab tersebut sesuai dengan ketentuan Permenkes dan timbul harga satuannya sebesar Rp12 miliar. Namun dalam pelaksanaannya, hanya sebesar Rp6,5 miliar dan diserahterimakan sebesar Rp6,5 miliar,” jelasnya.
Sebagai informasi, Sebelumnya satu orang dari pihak swasta berinisial DS sebagai direktur perusahaan sudah ditetapkan sebagai tersangka pada kasus ini. Kemudian, dalam kasus ini, mantan Sekda NTB inisial R terindikasi menyalahgunakan wewenang. Akibatnya muncul kerugian negara atas gagalnya pembangunan NCC. Total kerugian negara dari batalnya pembangunan NCC atas kerja sama Pemprov NTB dengan PT. Lombok Plaza, mencapai Rp15,2 miliar. Angka tersebut muncul dari hasil audit akuntan publik.
Dalam hal ini, Kejaksaan memastikan kerugian itu muncul dalam periode kerja sama PT Lombok Plaza sebagai pengelola aset milik Pemprov pada tahun 2012-2016. Namun kerja sama tersebut tidak berjalan sesuai dengan perjanjian yang telah tertuang. Bahkan pembangunan gedung tidak pernah terlaksanakan. “Untuk kekurangan (penerimaan,red), saat ini dari masih kami telusuri. Apakah ada pihak-pihak penerima lainnya,” ucapnya.
Sementara itu, untuk R sendiri Jaksa menyangkakan dengan pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (dpi)