27.5 C
Mataram
Senin, 22 Desember 2025
BerandaDaerahNTBRoyalti Musik Kian Memberatkan Pengusaha di NTB

Royalti Musik Kian Memberatkan Pengusaha di NTB

Mataram (Inside Lombok)- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB resah dengan adanya pembayaran royalti musik di cafe ataupun restoran. Pasalnya, pembayaran royalti ini sangat memberatkan, mengingat kondisi pengusaha restoran dan hotel di NTB belum bisa dikatakan baik-baik saja.

Ketua PHRI NTB, Ni Ketut Wolini, mengungkapkan bahwa royalti musik di cafe dan restoran saat ini sudah ada yang bayar dan belum, karena para pengusaha juga belum mendapatkan sosialisasi bagaimana mekanisme pembayaran. Sebagaimana diatur dalam undang-undang, yang ada harus di bayar ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Sedangkan LMKN tidak ada di daerah, sehingga pengusaha di NTB kesulitan untuk konsultasi terkait dengan hal ini. “Ini terlalu mahal dipungut, dihitung per meter, persegi, itu berapa, dan dikalikan sekian meter. Meskipun dibayarkan sekali setahun, tapi berat juga, karena pengusaha sekarang ini tidak baik-baik saja. Satu objek pajak kena berapa kali pajak. Pajak daerah, pusat, dan sekarang royalty lagi,” ungkapnya, Selasa (5/8).

Diakui untuk pembayaran royalti ini memberatkan hotel dan restoran. Walaupun harus terpaksa membayar, tetapi ditambah dengan adanya ancaman pidana. Sementara untuk petunjuk teknis (Juknis)-nya seperti apa, belum diketahui. “Saya selaku ketua PHRI saja belum diajak bicara, kemana kita konsultasi. Coba LKMN ini ke daerah-daerah kasih pencerahan ke kami di daerah. Masa mau lewat hp, kan tidak maksimal,” katanya.

Belum adanya sosialisasi ini menjadi kekhawatiran dari para pengusaha café atau restoran di NTB. Pasalnya, beberapa waktu lalu ada pengusaha terkena persoalan pembayaran royalti musik ini dan mengarah kepada pidana. Tentunya ini menjadi semakin membuat pengusaha resah dan memilih untuk tidak memutar musik. “Kalau dihitung-hitung, semua pajak yang kita bayar hampir 30 persen itu besar dan memang seperti itu. Kalau berat rasanya tidak usah memutar lagu, supaya tidak bermasalah seperti Mie Gacoan menjadi tersangka. Anggota kami resah dengan adanya kondisi seperti ini,” bebernya.

Untuk itu, ia menghimbau kepada seluruh pengusaha jika memang diminta bayar, maka lebih baik tidak memutar lagu. Agar tidak semakin memberatkan kondisi para pengusaha, mengingat pengusaha di NTB beberapa kali tertimpa persoalan. Mulai dari tahun 2018 tertimpa gempa, kemudian 2020 covid, dan sekarang ditambah efisiensi anggaran. “Kemarin kita di NTB seminggu diselamatkan oleh FORNAS, habis itu tidur lagi. Mudah-mudahan ada revisi dari undang-undang itu, apalagi sekarang ini daya beli menurun,” demikian tutupnya. (dpi)

- Advertisement -

Berita Populer