Mataram (Inside Lombok) – Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) NTB, menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan yang akan dibahas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR-RI masa sidang akhir tahun nanti. APTISI menilai RUU yang akan dibahas terkait intrumen perencanaan program pembentukan undang-undang DPR RI itu diskriminatif.
Sekretaris APTISI NTB, Dr. Halus Mandala menyebut isi RUU yang menjadi akar keberatan kalangan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yaitu pemisahan status antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan PTS. Disebutkan, dosen dan guru negeri akan dikelompokkan dalam undang-undang ASN, sementara swasta akan dimasukkan ke dalam undang-undang buruh.
“Inilah yang menjadi dasar keberatan kami. Kami melihat, ada sikap diskriminasi antara swasta dan negeri. Kok kami disamakan dengan buruh. Kami lahir sebagai intelektual kampus yang tidak sekedar memberi ilmu pengetahuan. Kami berharap RUU ini tidak masuk ke ruang pembahasan DPR RI untuk disahkan,” kata Kepala Sekolah Tinggi Pariwisata Mataram ini di Mataram, Jumat 23 September 2022.
APTISI NTB berencana menghadap kepada Presiden RI, Joko Widodo, menolak sifat diskriminasi RUU Pendidikan yang akan disahkan DPR RI. Karena menurutnya, dosen yang mengajar di perguruan tinggi swasta memiliki tujuan yang sama yaitu mencerdaskan bangsa, memiliki visi, membangun attitude generasi muda, dan menguatkan NKRI.
“Apapun alasan dirjen Pendidikan tinggi, tidak bisa kami disamakan dengan buruh,” ucapnya. Ia meminta agar rencana undang-undang pendidikan yang baru itu agar dihilangkan.
Diakuinya, RUU itu gabungan dari undang-undang dan peraturan pemerintah (pp) sebelumnya. Akan tetapi didalamnya diatur ketentuan lain yang dianggap diskriminatif. Pasalnya ada sekat antara dosen-guru negeri dan swasta. “Masa kami dianggap buruh,” katanya kecewa.
Halus menambahkan, jika undang-undang dosen dan guru dicabut, maka sama dengan menghilangkan sertifikasi. Dengan kebijakan Dirjen Pendidikan Tinggi (DIrjen Dikti) yang masih memberi peluang melakukan tes mandiri untuk kepentingan sertifikasi bagi guru dan dosen kepada Lembaga Administrasi Mandiri (LAM).
“Kami akan membawa tiga hal ini ke Presiden untuk ditinjau kembali. Kami tidak bisa menerima pengesahan RUU dan beberapa kebijakan yang kami anggap merugikan tenaga edukatif di lembaga Pendidikan swasta,” tegas Halus.
Seperti informasi yang beredar, akreditasi tenaga guru dan dosen diserahkan Lembaga Administrasi Mandiri, dari sebelumnya dilakukan BAN PT. Bagi guru yang akan melakukan akreditasi harus membayar sejumlah biaya tes. “Jelas ini ada unsur bisnis. Walaupun dianggap ada kemudahan, faktanya tidak demikian. Perguruan Tinggi (PT), harus mendapatkan kebijakan anggaran bahwa PT masih memerlukan anggaran untuk akreditasi,” pungkas Halus. (azm)