Mataram (Inside Lombok) – Disahkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru yang memuat Pasal 411 dan 412 terkait zina dan larangan seks luar nikah memicu kekhawatiran pelaku industri pariwisata. Pasalnya, belum ada sosialisasi terkait aturan hukum tersebut, sehingga masih banyak orang yang belum mengerti.
Ketua Indonesian Hotels General Manager (IHGMA) NTB, Lalu Kusnawan menyebut pihaknya akan bersurat ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) meminta klarifikasi penerapan pasal dalam KUHP tersebut. Diakuinya, banyak yang mempertanyakan bagaimana penerapan terhadap undang-undang tersebut. Baik dari pelaku usaha pariwisata maupun wisatawan lantaran minimnya sosialisasi.
“Sesegera mungkin asosiasi bersurat ke kementerian untuk diberikan semacam sosialisasi secara online, itu rencana kita dalam waktu dekat, sehingga tidak ada lagi kesalah pahaman,” ujar Kusnawan, Rabu (14/12).
Menurutnya yang perlu dijelaskan terkait dengan pasal dalam KUHP tersebut, karena pihaknya merupakan perwakilan perusahaan, bukan pemerintah. Maka tamu tidak akan bertanya kepada pemerintah terkait beberapa pasal yang ada di dalam KUHP, terlebih larangan zina. Melainkan para tamu akan bertanya langsung kepada pelaku usaha tentang KUHP.
“Ini yang akan kita follow up sesegera mungkin. Hari ini mungkin saya bersurat ke kementrian agar diberikan semacam sosialisasi, sebenarnya yang krusial ini di pasal-pasal apa saja,” jelasnya. Kebijakan tersebut akan berdampak pada kunjungan wisatawan jika tidak segera disosialisasikan atau diklarifikasi. Karena ketidak ada kejelasan, belum ada yang beres atau selesai.
“Kita perlu penjelasan lebih lanjut semacam sosialisasi mau seperti apa nanti kita menghadapinya, karena kita (pengusaha, Red) yang akan menghadapi itu,” terangnya. Diakui, yang menjadi kekhawatiran para pelaku usaha adalah masalah ranah privasi tamu, karena sangat penting. Khususnya di destinasi pariwisata yang lebih banyak dikunjungi wisatawan mancanegara.
“Karena itu perlu kita bahas dan duduk bareng lagi dan tidak terjadi salah paham informasi. Sementara belum ada kendala, tapi dari travel agent di luar sana yang mempertanyakan tapi kita belum bisa menjelaskan,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Kehormatan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, I Gusti Lanang Patra menyebutkan pasal larangan berhubungan seks di luar nikah dalam UU KUHP sangat meresahkan. Terutama bagi wisatawan mancanegara, dimana mereka sangat merasa privasinya terganggu. Sedangkan di negara mereka tidak ada hal yang mengusik seperti itu.
“Artinya ini mereka harus siap dan sanggup kehilangan wisatawan mancanegara. Kan itu akan menjadi masalah setiap hari, penggerebekan. Tidak nyaman lah wisatawan nantinya,” ungkapnya.
Selain itu tingkat kunjungan wisatawan juga akan mempengaruhi. Baik itu wisman maupun domestik. Untuk wisman sendiri bisa saja nanti berkurang antara 20-30 persen kunjungannya. “Wisman atau domestik itu akan terpengaruh juga tingkat kunjungannya dengan adanya UU tersebut. Bahkan dari Australia sudah warning (untuk berkunjung, red),” katanya.
Sebagai informasi, dalam KUHP terbaru, Pasal 411 berbunyi:
(1) Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Pasal 412 berbunyi:
(1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. (dpi)