Mataram (Inside Lombok) – Belakangan muncul model bisnis dengan menyediakan jasa pacar atau teman kencan sewaan di Kota Mataram. Fenomena ini pun diakui mulai marak di kalangan anak muda, terutama di kota-kota besar. Namun khusus di NTB masih ada halangan dengan persepsi masyarakat, sehingga perlu melihat lagi beberapa aspek khusus.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi turut memberi sorotan atas adanya model bisnis itu, lantaran ada talent yang dipekerjakan masih di bawah umur. “Saya memang pernah lihat ulasan bisnis ini. Hal seperti ini sangat rawan untuk terjadinya persoalan-persoalan lain. Sehingga perlu ada pendekatan khusus kepada para pelaku (pengelola bisnis dan talent, Red),” ujarnya saat dihubungi Inside Lombok, Rabu (12/7).
Penelusuran Inside Lombok di salah satu akun Instagram penyedia jasa sewa teman kencan di Kota Mataram, talent yang terlibat usianya berkisar 18-24 tahun. Baik talent perempuan maupun pria punya tarif Rp125 -350 ribu sekali kencan, tergantung layanannya.
Ada dua jenis jasa yang disediakan. Antara lain sewa pacar online dan offline. Untuk sewa pacar online hanya memperbolehkan penyewa berkomunikasi secara online dengan pacar sewaannya. Biaya sewanya-pun lebih rendah yakni sekitar Rp45 ribu per jam untuk video call. Sedangkan mengirim foto Rp30 ribu per dua foto dan ondate Rp125 ribu lengkap dengan chat, telepon dan voice note.
Sementara bagi mereka yang ingin menyewa pacar secara offline sehingga bisa diajak kondangan, makan bersama dan sebagainya, maka tarifnya lebih mahal. Berkisaran Rp250-350 ribu dengan hitungan per 3 jam sampai dengan 5 jam.
Joko sendiri mengakui secara hukum bisnis tersebut terbilang legal. Namun masalah muncul jika berbenturan dengan sosial budaya masyarakat yang menilai model bisnis tersebut sebagai hal tabu. “Legal dalam arti bukan merupakan tindak pidana. Secara khusus, kami dari LPA Mataram akan coba komunikasi dengan pelaku,” terangnya.
Joko menyebutkan di NTB bisnis tersebut berpotensi memunculkan kasus kekerasan seksual, bahkan bisa saja nanti akan menjurus ke prostitusi. Sehingga hal itu yang perlu diwaspadai dan diantisipasi agar tidak ada korban kekerasan seksual yang dialami para talent, terlebih masih ada yang di bawah umur.
“Yang jelas risiko kerentanan bisnis ini sangat besar, ya tadi harus ada upaya untuk menghentikan bisnis ini secara sukarela dari para pelaku. Dalam hal ini penghentiannya harus menggunakan pendekatan edukasi personal. Tidak menggunakan cara-cara represif,” jelasnya.
Untuk pendekatan secara personal dan dari hati ke hati bisa dicoba agar para talent menghentikan kegiatannya. Tetapi yang jelas pihaknya tidak sejauh mungkin menggunakan pendekatan hukum dalam persoalan ini. Maka dari itu perlu pencegahannya agar tidak ada muncul bisnis tersebut. Bahkan sejauh ini belum ada pencegahan secara khusus.
“Betul tapi pencegahan harus lebih diutamakan. Setahu saya belum ada secara khusus melakukan pencegahan terhadap bisnis ini,” tuturnya. (dpi)