Mataram (Inside Lombok) – Dibukanya jalur pendakian Gunung Rinjani menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Pasalnya muncul pemikiran bahwa dibukanya pendakian Gunung Rinjani bagi wisatawan akan mendatangkan gempa karena anggapan bahwa banyak pendaki yang suka melakukan tindakan melanggar norma di atas gunung tersebut.
Menanggapi hal tersebut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melalui Stasiun Geofisika Mataram memastikan bahwa penyebab gempa tidak pernah dipengaruhi oleh sebuah objek wisata atau event tertentu. Bahkan hal tersebut sangat sulit dihubungkan dari sisi teknis ilmiah.
“Dari sisi teknis ilmiah sulit menghubungkannya,” ujar Kepala Stasiun Geofisika Mataram, Agus Riyanto saat dihubungi Inside Lombok, Rabu (19/06/2019).
Diterangkan Agus bahwa di dunia ini setiap menit gempa selalu terjadi. Artinya gempa bisa terjadi kapan saja tanpa bisa dicegah dan tanpa mengenal waktu. Untuk itu, yang perlu dilakukan masyarakat bukanlah saling menyalahkan melainkan melatih kemampuan mitigasi bencana untuk menghindari hal-hal tidak diinginkan saat gempat terjadi.
“Harapannya supaya masyarakat selalu waspada dan siap siaga, bila terjadi gempa sudah mengetahui apa yang harus dilakukan. Sederhana tapi harus dilatih berulang-ulang,” ujar Agus.
Selain itu, Agus menerangkan bahwa masyarakat tidak perlu takut jika terjadi gempa-gempa kecil yang belakangan terjadi. Karena itu menandakan aktifitas pada lempeng bumi masih baik dan aman bagi manusia karen melepaskan energi secara berkala dengan gempa-gempa kecil.
“Malah bersyukur kalau gempanya sering dan kecil-kecil. Daripada tidak ada gempa lama lalu tiba-tiba terjadi gempa besar,” ujar Agus.
Agus sendiri menerangkan bahwa sampai saat ini belum ada gempa yang signifikan setelah pelepasan energi dengan Magnitudo 7.0 di sesar belakang flores pada Agustus 2018 lalu. Walaupun begitu, Agus menyebutkan bahwa sesar flores saat ini berdasarkan data gempa sedang dalam proses relaksasi dan diperkirakan tidak akan menghasilkan gempa lebih dari 5.3 skala richter.
Pulau Lombok secara khusus dan NTB secara umum memang berada pada wilayah raman gempa yang selain dilewati sesar belakang flores, juga memiliki sekian sesar lokal yang belum terdata. Selain itu, jika benar-benar ingin mewaspadai kemungkinan gempa, Agus menerangkan bahwa masyarakak justru perlu mengantisipasi kemungkinan gempa dari sesar selatan.
Sesar selatan sendiri diterangkan Agus sebagai jalur sesar yang memanjang dari Sumatera, Maluku, Lombok, dan terus ke timur. Pada tahun 1977 aktifitas sesar selatan tersebut sempat mengakitabkan tsunami besar yang menerjang Sumpa hinga sebagian wilayah NTB.
“Sekarang sudah lebih dari 40 tahun sejak gempa besar yang mendatangkan tsunami,” ujar Agus.
Walaupun begitu, berdasarkan data aktifitas subduksi, BMKG mencatat bahwa lempeng selatan sudah banyak melepaskan energi. Namun memang tidak semuanya bisa dirasakan.
Agus sendiri menegaskan bahwa memilih tinggal di wilayah rawan gempa harus diikuti dengan pemahaman risiko soal bencana gempa yang mungkin terjadi. Karena itu, pilihan satu-satunya adalah beradaptasi dengan kecendrungan dari alam sekitar.
“Ini adalah risiko yang harus diterima bagi kita yang sudah berniat tinggal di margin lempeng, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, inilah kenyataan yang harus diterima. Maka agar bisa harmoni dengan alam ya harus kenal tabiat alam dan kuasai bagaimana cara menghadapinya dengan cara beradaptasi,” tegas Agus.
Adaptasi yang dimaksud Agus sendiri adalah dengan memperhatikan bentuk bangunan yang dibangun serta kekuatan bangunan. Agus menyebut bahwa gempa tidak melukai dan tidak membunuh. Yang menjadi sumber bahaya adalah bangunan-bangunan yang tidak bersahabat dengan potensi gempa sehingga rusak jika terjadi gempa dan mengakibatkan korban jiwa.