25.5 C
Mataram
Sabtu, 23 November 2024
BerandaBerita UtamaCegah Pernikahan Dini, Masing-Masing Desa Perlu Buat Perdes

Cegah Pernikahan Dini, Masing-Masing Desa Perlu Buat Perdes

Mataram (Inside Lombok) – Peraturan Daerah (Perda) NTB Nomor 5 tahun 2021 tentang pencegahan perkawinan anak belum berjalan maksimal di lapangan. Upaya yang harus dilakukan untuk memaksimalkan pelaksanaan perda, maka harus ada regulasi di tingkat bawah berupa peraturan desa (perdes).

Ketua Komisi V DPRD NTB, H. Lalu Hardian Irfani mengatakan belum maksimalnya perda yang sudah disahkan terlihat dari angka perkawinan anak di NTB dilihat dari terjadi peningkatan kasus. Terlebih berhadapan dengan beberapa kendala, salah satunya adat budaya setempat.

“Kadang-kadang ketika anaknya sudah akil baliq, dan dia sudah memutuskan dan daripada sekolah makanya dinikahkan. Itu biasanya karena faktor ekonomi,” katanya.

Perdes yang akan dibuat harus ada sanksi yang dicantumkan agar efek jera jika ada kasus perkawinan anak. Keberadaan perdes menurut Ari, lebih ampuh jika dibandingkan dengan perda. “Kalau Perdes kan cakupannya di lingkungan tertentu gitu, di masing-masing desa. Saya lihat dan pelajari kontrolnya lebih bagus,” ungkapnya.

Jumlah desa yang sudah memiliki perdes atau menjadi desa yang ramah perempuan dan anak masih sangat minim di Provinsi NTB. Dari ribuan desa dan kelurahan yang ada di NTB baru sekitar 15 desa yang sudah menerapkannya. “Nanti kita dorong lagi supaya desa-desa lain memiliki perdes ini juga,” sarannya.

Selain pembuatan perdes, DPRD NTB juga mendorong agar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait untuk memaksimalkan sosialisasi baik perda maupun dampak perkawinan anak. Selain tersebut, Pemda baik Provinsi NTB maupun kabupaten/kota memperbanyak program pemberdayaan perempuan. “Program ini di tingkat desa hingga dusun juga perlu ditingkatkan program seperti itu,” katanya.

Sementara terkait dengan adanya oknum yang menambah usia korban perkawinan anak ungkap Ari, harus menjadi perhatian semua pihak. Hal ini kerap dilakukan agar korban bisa menikah dan mendapatkan buku nikah.

“Jadi memang itu kami pertegas turun sosialisasi agar jangan ada aparat-aparat baik ditingkat KAU untuk melakukan manipulasi data kelahiran. Sehingga pemahamanan tentang bahaya nikah anak ini perlu disosialisasikan,” tegasnya.

Sosialisasi perda pencegahan perkawinan anak ini sudah dilakukan hingga tingkat desa. Nantinya, aparat desa melanjutkan sosialisasi tersebut hingga ke tingkat RT, agar upaya pencegahan perkawinan anak ini bisa dilakukan dengan maksimal. “Kita juga tetap turun di masing-masing dapil. Oleh sebab itu di komisi V kami mengarahkan kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak,” harapnya.

Dia mengungkapkan, pembuatan perda pencegahan pernikahan dini ini karena kasus tersebut masih banyak terjadi di NTB. Selain itu, dampak yang ditimbulkan dengan banyaknya kasus tersebut yaitu kesehatan reproduksi, mental dan meningkatnya kasus stunting. “Banyak negatifnya kan banyak pernikahan dini itu. Dari sisi emosional belum matang, kesiapan perempuan dari mental. Timbul penyakit kurang gizi dan stunting,” kata Ari.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP2AP2KB) NTB yaitu terjadi peningkatan setiap tahun. Tahun 2015 sebanyak 86 kasus, tahun 2016 sebanyak 134 kasus, tahun 2017 sebanyak 162 kasus, tahun 2018 sebanyak 212 dan tahun 2019 sebanyak 370 kasus. Jumlah kasus ini terus meningkat misalnya tahun 2020 sebanyak 875 kasus, tahun 2021 sebanyak 1.132 kasus, tahun 2022 baru hingga Juli lalu yaitu sebanyak 153 kasus. (azm)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer